💦 ȿ£றb¡laȵ 💦

1.8K 94 10
                                    

     Vietta yang sedang memegangi tanganku dengan cengkraman yang cukup kuat sehingga membuatku merintis kesakitan. Belum lagi, ekspresi wajahnya Si Pinter yang sudah sangat pucat. Udo menyarankan kepada kami untuk menunggu sampai selesai. Terlihat orang-orang di Rumah Sakit Umum Daerah itu sedang sibuk untuk menangani Etek Lela.

     " Jangan-jangan, Roh Tumbal sedang terbang berputar-putar didekat sini!" Ucapan Syahreza yang membuat semua orang memelototkan mata kepadanya.

     " Jangan bikin takut orang, deh," kata Si Pinter yang merapatkan duduknya ke arah Vietta.

     " Ya, bisa aja ucapannya si Syahreza itu bener," celetuk Agum menambahkan kecemasan di wajah kami.

     " Seharusnya kalian itu berdo'a biar Etek Lela bisa lahiran dengan selamat, bukannya malah menduga-duga yang enggak jelas gitu." Vietta cemberut.

     " Sssttt ... Sudah jangan ribut kenapa, sih!" Udo segera menengahi perselisihan di antara kami.

                     👻👻👻

Aku segera mengajak Vietta agak menjauh dari yang lainnya.

     " Vi, aku merasakan ada sesuatu yang aneh dengan kehamilannya Etek Lela."

     " hmmm... Apa yang aneh?"

     " Ya ... Aneh aja, aku merasakan seperti ..." Aku agak susah menjelaskan pikiranku kepada Vietta. Aku merasakan tengkukku agak sedikit merinding.

     " Mmm.... Jangan suka yang aneh-aneh, deh, Ra!"

     Aku tidak mengindahkan ucapan dari Vietta, lalu aku melihat ke sekeliling rumah sakit. Seketika, aku sedikit gemetar saat mengingatnya.

     " Vietta ....!"

     " Hmm .... Apa lagi sih, Ra?"

     " Vi, kamu masih ingat nggak naskahmu yang berjudul TUMBAL itu?"

     " Ya, masih... Memangnya kenapa?" Vietta menganggu kan kepalanya dengan sedikit heran.

     " Ummm, tempat ini, situasi ini, seolah-olah pernah kita rasain, Vi."

     " Hah! Maksud kamu apa, Naura?"

     " Seperti ada benang merahnya, Vi."

     " Maksud kamu apa, sih?"

     " Coba deh, ingat baik-baik. Naskah kamu yang berjudul Tumbal dan sekarang kita berada di daerah yang sedang dihebohkan dengan kata 'TUMBAL!' "

     Kali ini, Vietta menatapku dengan serius.

     " Terus, coba perhatiin dengan sangat cermat. Suasana rumah sakit ini, kamu menceritakan di bab yang mana gitu, aku agak lupa."

     Sekarang, Vietta tidak hanya menatapku saja, tapi bangkit dari tempat duduknya dan sambil berputar-putar menyaksikan disekitarnya.

    " Semua orang yang ada dirumah sakit itu terlihat sangat panik. Ibu tua yang sedang hamil telah bersimbah darah!" Itu ada di bab tujuh!" seru Vietta melotot dan refleks sambil menutup mulutnya yang ternganga.

     " Exactly! Benar banget! Itu dia, kalimat itu. Dan sekarang imajinasi kamu nyata dihadapan kita, Vi!" jeritku tertahan.

     Kami berdua seperti terserang ratusan ngengat yang berdengung-dengung seolah- olah memandu kumbang lainnya untuk ikut menyerbu.

     Arrrgggh .... Aku dan Vietta refleks sambil merapatkan tubuh. Tanpa sadar, kami telah saling berpegangan dengan sangat erat. Kepalaku dipenuhi oleh banyak potongan-potongan kejadian yang sedang terjadi dibeberapa hari ini. Aku yakin Vietta juga pasti sedang sangat bingung dengan semua yang aku katakan padanya. Pasti dia juga mengingat-ingat semua kisah yang pernah dituliskannya sendiri di naskah itu.

     " Naura, Vietta! Yuk, kita balik!" ajak Si Pinter mengejutkan kami dari lamunan.

     " Lhooo, kok balik, sih?" tanya Vietta.

     " Memangnya udah lahir anaknya Etek Lela?" tanyaku.

     " Kata Udo, sih, udah!" Si Pinter mengangguk.

     " Tapi ...," kata Andiko.

     " Tapi kenapa?" tanyaku dan Vietta bersamaan.

     " Tapi, ternyata bayinya laki-laki," kata Udo yang tiba-tiba datang menghampiri kami semua. " Lagi! Untuk kesebelas kalinya!" seru Udo sambil diiringi dengan tawa.

     Terdengar tarikan napas lega yang bersamaan antara aku dan Vietta.

     " Padahal, Etek Lela itu ingin banget punya anak perempuan."

     " Wah! Berarti Jorong Durian Tiga Batang sekarang punya kesebelasan!" sahut Si Pinter bersemangat.

     " Hahaha, iya, bener tu?" kata yang lainnya ceria.

     " Anak-anak, ayo kita pulang!" seru Bidan Ises sambil menghampiri kami dengan senyum bahagia.

     Kami berjalan menuju ke mobil, untuk meninggalkan ruangan UGD.

     " BERHENTI!!!" seru suami Etek Lela. Dia sambil berlari menghampiri kami. Melihat ekspresi wajahnya yang tegang membuat kami semua agak sedikit was-wasan.

     " Ada apa, pak?" tanya Bidan Ises yang agak cemas.

     " Bidan Ises, makasih yo, akhirnya anak ambo lah ia dengan selamat," katanya dengan nada bahagia.

     " Oalaaah" seru kami semua lega.

     " Iyo, pak samo-samo. Kami pulang dulu, yo, Pak." Bidan Ises pun tersenyum dan pamit pulang.

     " Naah, Ayo guys, semuanya naik ke oto!" perintah Udo.

     " Tapi, tolong jangan lupa berdoa dulu biar kalian semuanya enggak mendorong lagi kayak tadi, hehehe ....," ujar Udo segera menyalakan mesin mobilnya.

     Malam ini, aku belajar satu hal: menunggu seseorang melahirkan benar-benar membutuhkan mental dan keteguhan hati. Aku memperhatikan raut wajah teman-temannya satu per satu, lalu terhenti tepar pada Vietta yang terlihat thinking hardest. Yang menurutku, semua kejadian ini seperti sesuatu yang pernah aku rasakan dan bayangkan sebelumnya / sesbuah cerita yang ingin sekali untuk cepat diselesaikan. Tapi apa maksud dari semuanya ini? Benar-benar kondisi yang, deja vu!

(」゚ロ゚)」

Kuy di baca!!! 🤣🤣🤣🤣

    

MAK TUO { LENGҞAP √ √} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang