If the truth is real, why should there be a lie?
🍀🍀
"Awh! Pelan-pelan dong, Rav!"
Jeritan Rita yang tak bisa dibilang pelan mengalihkan perhatian anak-anak lain termasuk Edzard yang sedang berbicara di podium. Kini mereka sedang berkumpul di aula guna pembekalan battle ground yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Mulanya suasana tenang dan damai, sampai Rita berbisik pada Ikbal namun sayangnya ia keceplosan tidak memanggilnya dengan nama tengah yang harusnya digunakan sesuai perjanjian. Di situlah kesempatan emas Ikbal untuk membalaskan dendamnya tempo hari, sebab ia mendapatkan sepuluh jitakan sekaligus ketika makan malam yang keadaannya tak kalah ramai seperti sekarang.
"Kalian tidak bisa, ya, sehari saja tidak membuat keributan? Aku sedang berbicara di sini. Pulang saja kalau kalian—ah, maksudku... aku akan memberi kalian berdua hukuman jika terus-terusan seperti tadi!" Edzard yang terlanjur geram dengan tingkah mereka dibuat hampir lupa, jika mengusir mereka sama saja dengan menyeburkan diri ke nerakanya sendiri. Satu-satunya nama yang langsung terlintas jika mengingat-ingat alasan eksistensi Rita dan Ikbal bisa ada di sini ialah Meisie, dan ia tak ingin bermain-main dengan nenek sihir—yang sialnya menawan itu.
Edzard pun melanjutkan, memberikan arahan kepada para calon co-gordon tentang teknis pelaksanaan battle ground yang dimaksud. Battle ground diadakan selama satu semester sekali, istilah umum untuk anak sekolahan, ya semacam ujian akhir semester. Gunanya sudah jelas sebagai ajang evaluasi magicer sekaligus penyeleksian siapa saja yang akan naik ke tahap selanjutnya dan semua harus bertanding dengan adil. Sebaliknya, jika ada yang mengundurkan diri atau parahnya sengaja mengalah saat pertandingan, maka jagan harap hidupnya tenang setelah itu. Pihak Cloudera akan mengambil sebagian atau bahkan seluruh magic yang dimiliki para pecundang seperti mereka. Sedangkan magicer dan magicnya adalah dua hal yang tak bisa lepas, magicer tanpa magic hidupnya bisa jadi lebih menyiksa ketimbang manusia biasa, bahkan seringnya dalam kasus seperi itu, mereka akan sekarat perlahan-lahan hingga akhirnya binasa.
Sementara untuk magicer yang tidak lolos, maka mereka akan terus mengulang siklus yang sama. Pelatihan-battle ground-pelatihan-battle ground lagi. Bisa-bisa, seumur hidupnya.
Usai pembekalan, seperti biasa, jika harusnya Ikbal mampir sebentar ke kamar Rita sebelum jam tidur tiba, kali ini entah kenapa Ritalah yang ingin menyambangi kamar lelaki itu. Ikbal sama sekali tidak keberatan awalnya, tetapi saat teringat akan sesuatu, dengan sigap ia menghadang Rita yang baru saja akan meraih kenop pintu.
"Pasti kamar kamu berantakan, ya? Atau... ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari aku selama ini?" Rita mengangkat satu alisnya lalu mendorong Ikbal dan buru-buru membuka pintu kamarnya.
"Bu—bukan, cuma ada—"
"Ikbal! Kenapa... ada..."
Dengan lantang Rita menyuarakan kesalahannya, akan tetapi bukan waktu yang tepat pula bagi Ikbal menjitak perempuan itu sekeras yang ia mau karena dia sendiri sedang berada dalam posisi sulit. Mau tidak mau, setelah ini ia harus menjelaskan semuanya pada Rita.
***
Dua makhluk yang tengah duduk bersila di ranjang Ikbal menyengir tanpa dosa mendapati keterkejutan Rita. Ikbal mendesah pasrah, mungkin sudah saatnya Rita mengetahui apa yang sudah ia tutupi dari sahabat—ehm... ya anggap saja Rita sahabatnya.
"Kalau paman tahu, dia pasti akan kecewa berat sama kamu, Ba—eh, Rav!" Rita sudah terlebih dahulu membuka suara sebelum pemilik kamar sempat menjelaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ORACLE
FantasyAku tahu apa yang akan terjadi pada satu jam, satu minggu, bahkan seratus tahun kemudian. Namun aku tak dapat mengubah apa yang sudah terjadi sedetik yang lalu. -The Frosty Oracle-