Kendalikan, atau kau yang akan dikendalikan
🍂
Warna langit sudah mulai tak secerah siang hari. Sinar mentari pun kian meredup dengan posisi siap tergantikan oleh rembulan yang sudah malu-malu mengintip petang ini. Beberapa lampu jalanan juga sudah dinyalakan seiring dengan keadaan yang mulai menggelap.
Namun, semua itu justru berbanding terbalik dengan suasana di sekitar area wisata Candi Borobudur. Bukannya sepi, pinggiran jalan malah semakin ramai saja. Gerobak dagang mulai bermunculan diikuti dengan aroma khas dari masing-masing makanan yang menguar menusuk indera penciuman. Mulai dari kacang rebus, jagung bakar, hingga martabak berbaur dalam satu deret di tepian jalan. Menghiasi pemandangan para pengguna jalan yang berlalu lalang.
Hal itu dijadikan salah satu alasan oleh Rita, mengapa dirinya sangat suka pulang telat ke rumah. Di samping karena ia selalu menghindar dari suasana rumah pamannya yang sepi--karena tak ada orang lain di rumah selain paman--jika Rita pulang sesore ini, ia akan mendapat bonus karena bisa mencium berbagai jenis bau jajanan khas di pinggiran jalan itu secara gratis. Itu adalah ketidaksengajaan yang menyenangkan baginya.
Sembari menunggu sore, perempuan itu tak melakukan apapun selain sedikit bermain-main dengan magic-nya. Ketika Ikbal dan teman-temannya melakukan latihan sepak bola, Rita memilih untuk mencari tempat yang jauh dari khalayak ramai dan mengubah wujud setiap benda di genggamannya menjadi jenis bunga-bungaan ataupun dedaunan sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Dan jika Ikbal sudah selesai, mereka akan pulang bersama.
Awal mula Rita mengetahui magic-nya itu sekitar dua tahun yang lalu. Kala itu ia sedang cukup kesal karena percobaan menggambarnya yang berkali-kali gagal. Pak Purwa, guru seni di sekolahnya yang lama, memberikan tugas untuk menggambar sebuah objek dengan efek arsiran. Menyadari bahwa dirinya tak memiliki bakat dalam bidang seni sama sekali, Rita hanya mencorat-coret bukunya dengan pensil yang sudah ia raut berkali-kali tanpa ada niat serius untuk menyelesaikan tugas yang guru seni itu berikan. Hingga akhirnya ia menyobek kertas di bukunya yang sudah tak putih bersih seperti sedia kala, lalu meremas dan membuangnya ke tempat sampah.
Seketika itu juga, dia memekik keras, bahkan hingga membuat pamannya dan Ikbal lari berhamburan ke kamarnya secara bersamaan. Bagaimana tidak, remasan kertas yang dibuang Rita sudah tidak berwujud kertas lagi. Dari genggaman tangannya keluar beberapa kelopak bunga berwarna oranye.
"Kenapa?! Ada tikus? Kecoa? Apa ular naga panjangnya bukan kepalang?" tanya Ikbal.
Sang paman lantas memberikan tatapan tajam pada anak itu. "Ikbal!"
Lelaki itu kemudian menunduk dan menggaruk tengkuknya. Jika pamannya sudah bermain nada tinggi, maka diam adalah pilihan terbaik.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Rita?"
Perempuan yang masih kebingungan itu menunjuk pada tempat sampah di mana ia membuang kertas yang sudah berubah wujud tadi. Sang paman yang mengikuti arah gerakan tangan Rita, langsung menghampiri keranjang sampah yang berukuran sedang itu, lalu menjulurkan tangan ke dalamnya.
"I-itu apa paman?" tanya Rita penuh kekhawatiran, ia terkejut bukan main.
Paman Azra menjawab sembari memandang apa yang ada di tangannya dengan seksama, "Bunga. Ya, ini pasti kelopak bunga."
"Kau takut dengan bunga?" tanya Ikbal sambil sedikit tertawa.
Sebenarnya ia ingin terbahak, namun mengingat ada paman di sini, mungkin ia harus bisa mengontrol diri. "Bukankah itu Bougenville?"
"Ta-tadi, aku membuang kertas." Rita merangkai kalimatnya dengan tersendat. Apa yang ia takutkan selama ini... sama sekali tidak pernah diharapkannya terjadi. "Namun, i-itu yang keluar dari tanganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ORACLE
FantasyAku tahu apa yang akan terjadi pada satu jam, satu minggu, bahkan seratus tahun kemudian. Namun aku tak dapat mengubah apa yang sudah terjadi sedetik yang lalu. -The Frosty Oracle-