Nggak kerasa, ya, udah selesai. Sebelumnya makasih buat kamu yg sudah ngikutin cerita ini sejak awal. Untuk semua vote jugaa... Thank a bunch ❤
^_^
Rita mengibaskan kedua tangan ke muka sembari mengeluarkan udara dari mulutnya. Ia masih tak mengerti mengapa Axe melakukan hal itu padanya. Menciumnya. Perempuan itu bahkan masih tak bisa mengerti mengapa dirinya menerima ciuman itu. Meski hanya menempel, Rita dapat merasakan hangatnya menjalar ke sekujur tubuh. Mungkin ini alasan kenapa ia merasa gerah. Padahal sudah berselang satu jam dari waktu kejadian.
Sesekali ia memegangi pipinya, sudah tak separah kemarin. Ia juga tak merasa kedinginan, hawa hari ini lebih hangat dari sebelum-sebelumnya. Apa ini karena ada lelaki itu di apartemennya?
"Rita,"
"Y--ya?"
"Tidak, hanya memastikan kalau kau masih bernapas," ucap Axe lalu mendekat, "hari ini tidak perlu berangkat ke kampus, kau masih perlu istirahat."
Rita lalu mengangguk setuju.
"Apa ... aku tadi mengejutkanmu?" Pertanyaan tersebut sontak membuat wajah Rita memerah. "Tunggu, jangan bilang itu adalah yang pertama? Apa aku benar?"
Perempuan itu spontan menggeleng. "Kenapa sangat percaya diri, sih? Aku pernah ber--aku ... aku pernah melakukannya, dulu."
"Ah, aku kecewa karena bukan jadi yang pertama."
"Memangnya kau sendiri belum pernah? Usiamu bahkan tak lagi senja, sudah tengah malam saking tuanya. Lalu kenapa memprotesku?!"
"Hey, siapa yang protes? Aku hanya bilang kecewa. Lagipula terakhir kali aku melakukannya sudah puluhan tahun yang lalu, jadi sudah lupa rasanya," papar Axe membuat Rita bersungut. "Jadi, siapa dia? Who's your first kiss?"
"Haruskah kita membahasnya?"
Axe mengangkat bahu. "Aku hanya ingin tahu, jika tak ingin menjawabnya tidak masa-"
"Ikbal," sahut Rita cepat, "he did it. Sewaktu kami di bangku menengah pertama. Aku tidak ingat persis kejadiannya, tapi dia melakukan itu agar membuatku tenang karena aku tak berhenti menangis. Tidak ada yang bisa menerima keadaanku di sekolah manapun, bahkan hanya dia temanku satu-satunya."
"Kau mengingat dengan baik mengenai hal itu." Rita mengangguk pelan untuk kalimat tersebut. "Teruslah ingat hal-hal yang membuatmu bahagia, terutama untuk hari esok. Aku sudah membuat list kegiatan apa saja yang akan kita lakukan selama seharian penuh. Hari ini, manfaatkanlah untuk beristirahat. Kalau kau butuh aku, panggil saja. Aku akan tinggal di ruang tengah."
"Axe," baru selangkah beranjak," lelaki itu memutar badan memenuhi panggilan Rita, "sepertinya ... aku membutuhkanmu."
***
Di Cloudera, keadaan sudah kondusif sejak penyerangan berakhir. Walau semuanya perlu pemulihan, terlebih bagi yang fisiknya terluka parah. Tak terkecuali Ravi, ia hanya tak mendapat sakit di tubuh, tapi juga di hatinya.
Bagaimanapun buruknya Meisie, wanita itu tetap orang tuanya. Tanpa sosok ibu, yang biasanya akan memberinya masukan, walau tak jarang mereka terlibat perdebatan kecil, Ravi merasa ada yang hilang ketika wanita itu sudah tiada. Dan ia harap itu adalah kehilangannya yang terakhir.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ORACLE
FantasyAku tahu apa yang akan terjadi pada satu jam, satu minggu, bahkan seratus tahun kemudian. Namun aku tak dapat mengubah apa yang sudah terjadi sedetik yang lalu. -The Frosty Oracle-