15. Transfer

29 10 0
                                        

Rita merapatkan kelopak mata lalu mendongakkan kepala, menikmati sinar matahari pagi menyirami tubuhnya. Ia berdiri menghadap jendela dengan hanya mengenakan kaos singlet dan celana jeans seatas lutut. Jarang sekali ia berpakaian seminim itu, sebab kalau di rumah, Azra pasti sudah mengomelinya. Kata pria itu, lingkungan tempat mereka tinggal tidak terlalu biasa dengan model busana yang terlalu terbuka, padahal mereka tinggal di wilayah yang notabene merupakan wisata internasional, banyak turis bule juga yang berpakaian terbuka. Namun Azra tetap bersikeras tak ingin keponakannya itu ikut-ikutan. Mereka tinggal di sana dan menjadi bagian dari masyarakat, pamannya hanya ingin tetap menjunjung norma kesopanan. Ya, meskipun itu di kamar, di rumahnya sendiri. Sekali tidak, maka ultimatum Azra sebagai pemilik rumah mutlak tak terbantahkan.

Karenanya, ini adalah kesempatan emas bagi Rita untuk berekspresi dengan koleksi setelan yang lama ia simpan di lemari bagian paling dalam. Lagi pula ia hanya memakainya di kamarnya sendiri, nggak ada salahnya kan?

Semakin terbuka semakin maksimal juga energi yang ia dapat. Rita menyingkap sedikit kaosnya, kemudian menepuk-nepuk pelan perutnya yang sudah agak tidak rata. "Apa akhir-akhir ini aku makan banyak banget, ya?" monolognya.

"...ta?"

Memutar badan, perempuan itu mendapati seseorang sudah berdiri di tepi kasur. Dengan santai ia menghampiri Aksa yang baru saja terkejut dan memalingkan muka.

"Mau bangunin? Telat."

"A-aku kira masih ngiler. Yaudah kalau gitu. Jam sembilan Ely bakal jemput kamu."

Rita mengangguk. "Okay. Masih dua jam lagi."

Aksa sebenarnya tak ingin kembali bersuara, tetapi sebelum keluar dari kamar itu ia sempat berkata, "Ka-kamu kalau mau berjemur lagi mending benerin dulu deh itu, kasihan yang nggak sengaja lihat, pagi-pagi dapat pemandangan aneh."

Bagitu Aksa menutup pintu Rita baru menyadari sesuatu hingga membuat rahangnya melorot dan wajahnya memerah. Ia lupa jika kaosnya masih terangkat.

Selama satu jam Rita terus merutuki sifat cerobohnya. Mau ditaruh di mana mukanya saat bertemu Aksa? Rita berpikir keras, apakah ia harus berpura pura sakit? Namun sepertinya ini bukan momen yang tepat untuk bertindak lebih konyol lagi. Saat terdengar ketukan pintu, tanpa ragu ia membukanya, itu pasti Ely.

"Loh, kok kamu?" tanya Rita refleks seakan menyentak. Ia hanya terkejut sebab bukan sosok bersurai ungu yang tertangkap penglihatannya, melainkan sebuah penampakkan punggung berkemeja putih yang cukup lebar.

"Ely lagi ngumpulin yang lain." Ada jeda sebelum ia melanjutkan. "Kamu, udah nggak kayak tadi kan?" Pertanyaan Aksa membuat Rita semakin malu.

"Enggaklah," sahutnya lirih.

Aksa akhirnya membalikkan badan, mendapati sosok mungil di depannya menunduk, ia langsung mengulurkan tangannya. "Ayo."

Dengan kikuk Rita meraih tangan itu. Tak sampai satu detik, mereka menghilang di telan udara.

***

"Bukankah hari ini saatnya?" Wanita itu menatap Reyes seolah tatapannya dapat mengikat erat sosok di kursi kebesarannya.

"Kau yakin? Jika aku memberikan ini padanya," mata Reyes tertuju pada gumpalan oranye terang di atas telapak tangannya, "ada yang harus dikorbankan."

Meisie meraih dagu Reyes dengan hati-hati lantas berkata, "Untuk hal berharga sekecil apapun, pasti ada yang harus dikorbankan. Kamu pasti paham maksudku."

Reyes masih setia memandang wanita dnegan jarak mereka yang tak seberapa ini. "Beri aku waktu. Aku tidak bisa melakukannya sekarang. Setidaknya biarkan aku mengunjungi sahabat lamaku. Setelah itu, semua akan kupasrahkan padamu."

THE ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang