17. Milo City

21 10 0
                                        

Langit begitu cerah. Sinar matahari menyorot namun tak menyengat. Hangat. Begitu pas. Jika ada satu kata yang bisa mewakili keadaan hari ini, maka kata tersebut adalah indah. Ya, cuaca memang sedang indah-indahnya.

Bukan hanya penduduk langit, bumi juga tengah bersuka-cita. Magicer di berbagai sudut bumi ikut merayakan pengangkatan ketua gordon baru mereka. Ada yang mengadakan perkumpulan, ada pula yang merayakan di kediaman masing-masing. Para gordonlah yang bertugas mengantarkan kebahagiaan kepada mereka. Berbagai jenis energi dalam bentuk macam-macam. Bisa berupa makanan, pakaian, peralatan kerja, apapun yang warga Maggie inginkan mereka peroleh.

Lalu bagaimana dengan manusia? Apa mereka juga turut merasakan kegembiraannya? Oh, tentu saja. Pesta yang diadakan selama dua hari berturut-turut memberikan pengaruh bagus pada kondisi alam. Tidak akan ada hujan lebat, badai, bahkan kekeringan. Sungguh pesta yang menyenangkan bagi seluruh makhluk hidup.

Harusnya semua itu juga dirasakan oleh Rita, mengingat ini kali pertamanya mengetahui adanya pesta raya di dunianya. Namun sayang, ia memilih untuk bersembunyi. Di sebuah tempat, jauh dari rumah tinggalnya terakhir kali di bumi. Bersama Aksa, ia menempati sebuah rumah yang terletak di pinggiran kota.
Jangan salah, mereka tidak hanya tinggal berdua., terdapat sepasang suami-istri juga di rumah tersebut.

“Apa dia masih belum bangun?”

Aksa menggeleng. “Mungkin dia kelelahan. Aku akan langsung menyuruhnya makan begitu dia sadar. Kalian tidak perlu mengkhawatirkannya.”

“Memang kalian semalam naik apa? Kenapa sampainya larut sekali?”

Haruskah Aksa menjawab dengan jujur? Bahwa mereka hanya perlu berteleportasi untuk bisa sampai ke sini?

“Ehm, kami naik bus malam. Sedang kurang beruntung saja karena busnya berjalan sangat lambat.” Aksa berkelit sekenanya.

“Sebenarnya dia siapamu? Kalian terlalu berbeda untuk dibilang saudara,” ucap si pria. “Kalau kekasih… sepertinya tidak juga. Rentang usia kalian pasti jauh.”

Andai saja pria itu tahu kalau Aksa bahkan puluhan tahun lebih tua darinya, mungkin ia bisa-bisa terkena serangan jantung. “Ia kerabat temanku. Seperti yang sudah kujelaskan semalam. Aku hanya menjaganya.”

“Ya, sudah. Kita pergi dulu. Anggap seperti rumahmu sendiri. Eh, aku lupa, ini kan memang rumahmu.” Ungkapan wanita tua itu sontak membuat pria di sisinya dan Aksa tergelak.

Aksa menutup pintu begitu keduanya menghilang dari halaman. Tatapannya berputar menelisik dinding dan langit-langit rumah yang didominasi warna cokelat kayu. Tidak ada yang berubah. Masih sama seperti tahun lalu ketika ia meninggalkannya.

Hampir setiap tahun Aksa menyambangi tempat ini. Seperti kata wanita tadi, ini memang rumah milik Aksa, tetapi ia sengaja membiarkan agar orang lain menempatinya. Sebab, rumah ini menjadi satu-satunya tempat ia berpulang setelah ia diusir dari Cloudera. Tidak ada magicer lain yang tahu, termasuk Azra. Karena Aksa mulai jengah dan dirasa harus mulai kembali ke permukaan dunianya, ia meminta agar Stephen dan Floe tinggal. Aksa sama sekali tidak meminta bayaran, lagipula untuk apa? Setidaknya, tempat kesayangannya ini ada yang merawat selama ia tak ada.

Kembali, Aksa melongok Rita yang masih belum bergeser dari posisinya. Tidurnya pasti begitu lelap terlihat dari bahunya yang naik turun secara teratur. Dua hari belakangan perempuan itu tidak tidur. Sebelum kemari ia juga meminta untuk diantarkan ke bekas rumah sang paman yang—benar seperti perkirannya—sudah tidak berwujud. Rumah itu beralih menjadi sebuah taman yang merupakan bagian dari kawasan wisata Candi Borobudur.

Aksa bisa saja menutup pintu lalu mengambil sarapannya mengingat semalam ia belum sempat makan. Namun langkahnya justru mendekat pada Rita. Matanya langsung menangkap bungkusan hijau kecil di atas meja samping ranjang.
Lelaki itu mengulas senyum. Ia teringat akan keras kepalanya Rita saat memintanya untuk membelikan satu renteng bubuk kesukaannya itu.

THE ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang