16. Throne

28 10 0
                                    

Reyes ingin tak mempercayainya, tetapi hari ini juga ia harus melakukan hal yang sebenarnya tidak ia mau. Tatapannya datar pada Ikbal yang masih menunggu. Selain ragu akan keputusan Azra, ia tak begitu yakin apakah Ikbal akan mampu menerima apa yang akan terjadi. Juga, ia ragu pada dirinya sediri apakah setelah ini ia akan sanggup mengangkat kepala teriring dengan kepergian sang kawan yang saat ini masih menjadi panutannya. Rasanya kepala Reyes mau meledak.

"Sebentar lagi aku akan membuat gerhana buatan," ucapnya tanpa mengalihkan tatapan pada Ikbal. "Begitu gerhana selesai, kau yang akan menempati kursi ini."

Ikbal tak menunjukkan reaksi apa-apa selain kebingungan yang terlihat di matanya.

"Sekarang, ikut denganku."

Begitu mereka keluar, Edzard dan beberapa gordon lain menyambut keduanya di halaman. Polanya, sama persis seperti apa yang dilakukan Ely dan kawan-kawannya ketika gerhana terakhir terjadi.

Dari sekian tanda tanya yang mengepul di kepala Ikbal, ada satu yang cukup mengganjal, keberadaan Meisie yang tak ia temukan di antara mereka.

"Tidak ada yang ingin kau tanyakan?"

Ragu, hanya gelengan yang Reyes dapatkan.

Sementara di kediamannya, Azra berjengit akibat pintu yang tiba-tiba dibuka secara kasar.

"Axe, kau kah itu?"

Merasa tidak mendapatkan jawaban akhirnya Azra mengalah, ia turun untuk melihat siapa yang sudah membuat keributan di siang bolong. Langkahnya hampir terhenti di tangga terakhir saat paras ayu berbalik menyapa keterkejutannya.

"Apa hanya makhluk tengil itu yang ada di pikiranmu?"

Azra memasang senyum. "Meisie, aku tak mengira kau akan kemari. Aku hanya sedang tidak menerima tamu untuk hari ini. Dan, untuk hari-hari berikutnya."

Wanita itu menyeringai apik dengan satu alis terangkat, kontras dengan pandangannya yang sendu. "Aku hanya ingin mengantar kepergianmu. Apa itu keliru?"

Azra menatap ke luar, didapatinya cahaya langit yang perlahan meredup. "Ah, mereka sudah memulainya? Aku bahkan belum bersiap-siap." Ia lalu berjalan mendekat pada Meisie. "Tapi sayangnya aku takkkan pergi ke mana-mana."

Mata Meise memanas. Ia tahu benar apa yang dirasakannya, namun berusaha mengelak. Pertahanannya tidak boleh runtuh.

"Sejak awal, aku berada di sana. Hingga seterusnya. Selamanya aku akan tetap di sana," ujar Azra yang kemudian membuat Meisie tersentak. Pria itu memeluknya. "Aku selalu ada dalam jiwamu, Meisie."

Akal sehat Meisie memberontak, ia harus lepas dari rengkuhan pria ini. Namun inderanya tak sejalan, karena kedua tangannya justru terangkat, mendekap erat Azra dan mempertemukan bahu pria itu dengan keningnya.

Mengesampingkan ego, Meisie mengeluarkan tangisnya. Ia sungguh tak ingin kehilangan Azra, tetapi tak ada pilihan lain. Sebesar apapun penyesalan yang merembet dan menggerogotinya sekarang, semua sudah terlambat, tidak ada gunanya. Keputusan sudah dibuat. Ini final. Meski bukan hanya kali ini ia kehilangan pria itu, namun untuk yang ini berbeda. Jika sebelumnya ia masih bisa mengawasi dari kejauhan, bahkan untuk mendapatkan eksistensinya saja setelah ini Meisie tidak akan pernah bisa.

"Maaf, aku masih tak bisa melindungimu," ungkapnya dalam isakan.

Azra mengusap punggungnya lembut dan menggeleng. "Kau sudah melakukan yang terbaik. Jaga dirimu sendiri dan Ravi, ya?"

Meisie masih tak bisa meredam tangisnya. Terlebih, ketika ia tak merasakan tangan Azra lagi di punggungnya. Ia mendongak, mendapati sedikit demi sedikit surai pria tersebut yang luruh menjadi partikel-partikel kecil dan melebur bersama udara di sekitar mereka.

THE ORACLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang