18. Halte dan Faisal

124 17 0
                                    

Kami keluar dari studio saat film selesai berputar. Faisal memandang ke arahku.
Aku menaikan alis, seolah bertanya mengapa.

Dia menunjuk sudut bibirnya. Aku mengikuti pergerakannya, mengambil ponselku untuk melihat wajahku.

Ternyata, ada pop corn di sudut bibirku.
Aku terkekeh singkat menatap Faisal. Dia terlihat tersenyum.

Tunggu, tunggu. Faisal tersenyum? Apa dia kerasukan setan di film tadi?

"Kita kemana sekarang?" tanya Zalda.

"Pulang" ucap Bagas dan Faisal bersamaan.

Zalda mengeluh pelan. Terlihat sekali dia masih ingin berada di sini.

"Yah, tapi gue laper" ucap Zalda.

Aku mendengar Bagas menghembuskan nafas jengah.

"Lo bisa makan di rumah. Ini udah mau gelap" ucap Bagas.

"Iya Zal, aku juga udah cape" ucapku.

"Huft, yaudah deh. Bagas anterin gue pulang kan?" tanya Zalda.

Bagas melihat ke arahku. Apa-apaan dia.  Dia seperti sedang meminta persetujuan.
Aku menganggukan kepala singkat.

"Iya, gue anter" ucap Bagas.

Aku lega sekaligus sesak mendengarnya.
Tidak bagi Zalda, ia tampak tersenyum senang.

Di pertigaan, kami berbeda arah.
Bagas dan Zalda ke arah kanan, dan aku serta Faisal tetap lurus.

Aku tak mau bertanya kepada Faisal dari mana ia tau rumahku, aku sudah tau jawabannya, mungkin dari Bagas.

Aku mengedarkan pandangan menatap Bandung yang mulai menggelap.
Ku lihat jam di pergelangan tanganku. Masih jam lima sore, kenapa langit tampak hitam sekali.

Suara petir terdengar tiba-tiba sekali. Aku refleks menutup kedua telingaku karena terkejut.

Hujan turun tanpa aba-aba. Mengguyur Bandung dan mengguyur kita berdua.

Aku menutupi atas kepalaku dengan telapak tangan. Percuma saja sebenarnya, aku tetap akan basah.

Faisal menepikan motornya di sebuah halte yang sepi. Kebetulan, halte itu memiliki atap, kita bisa berteduh sebentar disana.

Aku dan Faisal duduk dengan jarak dekat. Motor faisal sudah basah karena hujan.

Sesekali aku menggosok telapak tanganku dan menempelkannya ke pipiku, ini bisa menyalurkan sedikit kehangatan.

Faisal menatapku. Aku menyadarinya, tetapi aku tetap memandang ke arah depan. Dia terlihat melepas jaketnya yang basah sedikit. Lalu melemparkannya ke arahku.

Aku mengerti, dia memintaku memakainya. Tanpa bicara aku menurutinya, karena jujur aku kedinginan.

Aku menghentikan kegiatan menggosok telapak tanganku dan memandang kosong ke arah depan.

Aku berdiri, Faisal lagi-lagi menatapku tapi dia diam saja.
Aku menengadahkan tangan, menampung air hujan di telapak tangaku.

Sebenarnya, aku berdiri karena aku menangis. Aku menyembunyikan tangisanku dari Faisal.
Dia sudah terlalu sering melihatku dalam keadaan tidak baik.

Aku tidak mau juga, dia melihatku menangis.
Namun, aku tidak lebih pintar darinya.

"Luapin" ucap Faisal.

Aku mengerti, aku tidak akan menyembunyikannya lagi. Aku berteriak seperti orang tidak waras. Aku berusaha menyamakan suara derasnya hujan.

Aku tidak peduli. Aku... merasa sangat sakit.

Cukup lama aku menangis dan berteriak sendiri. Cukup lama pula Faisal terdiam.
Aku membalikan badan dan kembali duduk di samping Faisal.

"Sorry" ucap ku perlahan dengan isakkan sisa tangis tadi.

Faisal menghembuskan nafas.

"Gue pernah di posisi lo" ucap Faisal tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya. Namun Faisal diam saja.

"Apa sesakit ini?" tanyaku lirih.

Faisal mengangguk.

"Caranya gimana ya Sal?" tanyaku lagi.

"Temuin penggantinya" ucap Faisal sambil menoleh ke arahku.

Aku pun menoleh ke arahnya juga.

730'Days ✔ endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang