Part 1 - SoM Naqila Pov

10.4K 356 4
                                    

Sore yang kelam dan gerimis itu menyahut bulan September. Aku tergugu di depan seorang wanita cantik berhijab yang menghela nafas. "Siapa nama kamu?" aku menangis, tahun-tahun penuh perjuangan jika di kenang, kala itu aku berumur 12 tahun, berbaju kumuh, rambut kusut, kulit kucel, tanah mengering di baju dan badan. Dan aku lupa terakhir kali aku mandi. Anak gelandangan.

"Ayo, jangan takut. Sebutkan namamu," wanita berwajah peri itu tersenyum, menyentuh tangan ku yang kotor. "Naqila." Suara ku serak.

"Mulai sekarang Naqi boleh manggil saya 'Mama'. Karena saya Mama kamu mulai detik ini."

Aku selalu terharu jika mengenang peristiwa luar biasa itu. Kami berbincang hangat di atas sofa, Mama Dila tak geli menyentuh ku, ia mengusap kepala, menyentuh pipi yang basah karena air mata, bahkan tak memaksa ku untuk bercerita tentang keluarga kandung ku. Karena aku pun tak mau menceritakan hal itu, terlalu menyakitkan untuk dikenang gadis kecil 12 tahun yang rapuh.

Aku terkejut saat seseorang berujar membuyarkan lamunan ku tentang masa itu. "Jadi, Qi. Kamu pernah bilang kalau Papa angkat kamu ngak setuju. Bener?" Hana mengunyah buah apel. Memancing ku untuk kembali bercerita. Karena memang aku selalu bercerita setengah-setengah. Begitu juga Kila yang menenguk es jeruk.

"Ahhh.." helaan nafas ku terdengar, ku nikmati sejenak angin di rooftop gedung fakultas kedokteran ini.

***

"Kamu yakin, Ma? Kita belum tau latar belakang keluarga dia. Gimana kalau ternyata dia itu anak di luar nikah yang dibuang dengan sengaja sama orang tuanya? Kita ngak tahu kan nanti sudah besarnya sifat dia gimana? Kenapa kamu memutuskan sesuatu tanpa persetujuan aku sih? Aku ini suami kamu loh!"

Lelaki itu berkacak pinggang dan mata merah menahan marah memandang ibu peri ku. Awal kami bertemu dia seperti Papa peri. Luar biasa baik, dan tampan. Tak ku sangka ketika dia bilang ingin berbicara dengan Mama berdua saja, Papa akan mengatakan hal yang membuat ku sakit hati.

"Kamu selalu bilang jangan menilai seseorang dari luarnya. Tapi?" Mama membuang muka. Aku hanya diam mengintip dari celah pintu. "Bukan begitu maksud ku, Ma." Papa menyentuh pundak wanitanya.

"Gimana kalau sudah besar dia seperti orang tuanya?"

"Aku yakin dia anak dari keluarga baik-baik, dan hanya takdir saja yang mempermainkannya. Dulu di rumah ini aku selalu melihatnya makan makanan sisa ku. Aku sedih. Jadi aku angkat dia. Ku rawat, lihat betapa manis dan cantiknya Naqila."

"Lalu apa yang akan kamu katakan pada anak kita?"

Aku hanya diam. "Kita bisa pelan-pelan mengenalkannya pada Naqila."

"Tidak.. Tidak.. tolong sekali. Coba kau pikirkan lagi. Aku menginginkan seorang anak gadis yang sholehah, berhijab, patuh dengan orang tua. Bagaimana kalau dia-"

"Tante.." aku memberanikan diri membuka pintu, ku tatap Mama peri ku. Sengaja aku memanggilnya 'tante' karena aku yakin Papa pasti tidak suka aku memanggil wanitanya dengan sebutan Mama kala itu.

"Tolong jangan usir Naqi. Ngak apa-apa Naqi jadi pembantu di sini, beres-beres rumah. Naqi akan belajar agama dan berhijab seperti tante. Naqi mohon." Mama Dila memeluk ku yang sedang berlutut. Ikut menangis. Lelaki itu menghela nafas dan mengusap rambutnya ke belakang.

Hening yang pecah dengan tangisan. Cukup lama.

"Naqila akan tinggal di rumah kita yang ini bersama Bik Minah. Kita akan sembunyikan Naqila dari anak kita. Sembari melihat perkembangannya." Papa ikut duduk dihadapan ku, mengusap rambut ku yang sudah wangi karena dikeramasi oleh Mama. Kalimat 'melihat perkembangannya' itu aku sudah mengerti sekarang. Maksud Papa adalah bagaimana sifat ku ketika beranjak dewasa. Karena ku sadar, Papa tidak sanggub menahan malu jika aku adalah anak gadis berandalan yang nakal dan tidak tahu terimakasih, suka main laki-laki dan berakhir hamil di luar nikah.

Itu pertemuan pertama ku dengan Papa angkatku. Waktu itu aku sempat takut ketika dia marah-marah pada Mama. Tapi akhirnya aku mengaguminya dan menghormatinya layaknya seorang Ayah.

Itu sudah lama terjadi, bertahun-tahun lamanya. Sekarang aku sudah dewasa dan sebentar lagi menamatkan kuliah ku di kedokteran. "Aku memang tinggal jauh dari mereka selepas itu. Ternyata rumah ku waktu itu rumah kedua mereka. Aslinya mereka tinggal di kota lain. Jakarta. Papa itu baik, tapi juga kadang nyeremin." Aku terkekeh, mencomot apel terakhir sebelum di makan Hana. "Sekarang kamu masih belum dikenalkan sama kakak angkat kamu?" Kila menyahut.

Aku hanya menjawab dengan gelengan pelan. "Wah, kek anak simpanan. Hahaha." Aku menimpuk kepala Hana dengan biji alpukat. Enak aja dia bilang begitu. "Mama cerita kalau anak laki-lakinya itu pembangkang banget. Nakal lah, padahal orang tuanya baik. Lagian kami bukan mukhrim, ngak baik tinggal serumah kalau udah baligh. Setelah anak perempuan dari adik Mama lahir, sifat Kakak baru sedikit berubah. Lagian aku udah cukup seperti ini. Aku di sekolahkan, di masukkan ke pesantren, dan di kuliahkan di bidang yang memang minat ku."

"Mama Dila itu bidan kan?"

"Iya"

"Kamu mau masuk kedokteran karena Mama Dila?"

"Setengah iya setengah tidak. Aku memang suka bidang ini, setengahnya memang pengaruh Mama." teman-teman ku mengangguk paham.

"Naqila!!!"

Astaga! siapa itu yang manggil keras banget? bikin kaget aja. Kami bertiga terperanjat mendengar suara mengelegar itu, aku terdiam. Kila dan Hana saling pandang. Kesialan yang lainnya adalah aku tidak terlalu berani dalam menghadapi manusia, terlalu trauma. Kecuali Mama, Papa, Hana dan Kila. Waktu umur 12 tahun aku mengambil paket C untuk lulus SD, saat mau masuk SMP aku tidak tahan dan lebih memilih sekolah di rumah bersama guru privat yang di sewa Papa. SMA baru aku di masukkan ke pesantren, niatnya agar bisa bersosialisasi. Nyatanya aku tetap tak berani.

"Hafa Naqila!!!"

Yang memanggil itu seorang laki-laki tingkat atas jurusan ekonomi. Pria gondrong yang kasar. Orang-orang memanggilnya Langit Tsabiru Faturi. Namanya saja yang islami, sifatnya bikin orang istigfar. Dia dan gengnya selalu betah membully ku.

"Iya, Kak?" Aku berdiri, ujung hijab melambai karena angin. "Eh! Jelek. Ikut gue!" aku memandang Hana dan Kila. Lalu mengikuti langkah lelaki itu. Selama ini, aku tidak pernah bercerita kalau aku di bully kepada Mama. Aku takut, Kak Langit juga sedikit demi sedikit membuat ku kehilangan kepercayaan diri. Bully memang menjatuhkan mental.

"Apa maksud lo bikin tugas gue setengah-setengah? Rendah nilainya tau nggak?"

Aku hanya menunduk. Mengigil karena takut. Hanya kami berdua di tangga. "A-aku.. tidak mengerti.. e-ekonomi.. kak."

"Gue ngak menerim alasan apapun! Awas lo ya! Gue bukan penganut 'pria ngak mukul perempuan' asal lo tau!" Dia menoyor kepalaku hingga mengenai dinding di belakang, berbunyi dan kepala ku langsung berdenyut. Lalu ia pun berlalu.

Sedang aku mengingil menahan tangis. Mendadak ingatan masa lalu menyerebak bagai virus di dalam otak.

TBC~

Hai, para pemburu bacaan.. sekarang aku datang dengan judul baru yang sudah aku bikin sampai selesai di draft laptop kesayangan.. aku bakal post tiap hari jika nggak ada kendala.. dimohon vote dan coment nya ya..

Sister Of Mistress (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang