Part 3

4.3K 293 11
                                    

Sudah seminggu sejak kejadian itu. Kesalah pahaman mereda. Untungnya tidak sampai melibatkan pihak kampus. Tasya tidak menuntut apa-apa karena sudah tahu kalau semuanya ulah usil Langit. Hanya meminta maaf dan semuanya terlupakan. Pikir dia.

Naqila juga tidak terlalu menanggapi, terlupakan dan dimakan waktu. Namun ada seseorang yang tidak bisa melupakan kalimat-kalimatnya waktu di rumah sakit universitas waktu Naqi baru sadar dari pingsan.

Langit.

Ia mengepalkan tangan menahan emosi atas kalimat perempuan itu.

"Awalnya gue udah mau minta maaf. Gue nggak nyangka Tasya bakal nampar dia sampai berdarah gitu. Tau-taunya?! Dia malah ngolok-olok orang tua gue."

"Lo kenapa jahat banget sama si Naqila sih, Lang? gue kira lo cuma iseng doang, tapi lama-lama keknya keterlaluan juga deh." Bian menanggapi. Mereka berdua di kafe sambil main football table. "Ya, dianya yang aneh, gue isengin malah B aja. Diganggu tapi nggak melawan. Pendiam banget. Lama-lama jadi gue kan keseruan sendiri gangguinnya."

"Lo sadar nggak sih itu adalah pembullyan?"

Langit menatap Bian. Kemudian mengangkat bahu acuh. Hatinya sedikit terusik.

"Udah banyak berita kalau korban bulyying itu bisa sampai bunuh diri loh. Hati-hati!" sehabis berkata begitu Bian berseru karena berhasil mencetak gol. Langit mengusap rambut ke belakang. Dadanya berdebar, dan takut.

"Apanya yang bisa bikin bunuh diri? Gue cuma iseng buang makanannya ke tong sampah, gangguin dia di jalan, ngejek-ngejek nggak jelas. Itu doang."

Bian mengelengkan kepalanya, tak mengerti bagaimana membuat Langit berhenti melakukan hal sepele yang bisa berdampak besar itu. "Lo sakiti dia pada mental dan waktu itu visiknya, Lang."

"Gue iseng doang."

"Lo sebenarnya suka ya sama Hafa Naqila? Cuma karena cewek itu pendiam dan kesannya pasrah, lo coba cari perhatian dia lewat bullyan lo, ya kan?"

"ENAK AJA!! Sorry ya, bro! dia nggak selevel sama gue!"

Bian mengulum senyum. Dia jurusan psikologi, tahu bentul nada tinggi yang Langit lantunkan itu bentuk sebaliknya dari pernyataan.

"Alah! Kalau udah anak itu bunuh diri baru lo tau rasa."

"Gue mau balas dendam sama dia."

"Jangan lagi, Lang!"

"Terakhir."

Langit terlihat malas melanjutkan permainan, ia duduk dan meneguk air di atas meja. "Nggak parah kok, cuman buang kotak bekalnya ke tong sampah seperti biasa. Enak aja dia bilang orang tua gue nggak becus. Di bilang masuk neraka lagi! Emang dia Tuhan?"

"Gue tahu Langit yang terhormat ini sangat menyayangi orang tuanya, tapi dilihat dari kelakuan lo! Emang bener yang diucapin Naqila. Lo sendiri kelakuannya emang kayak anak set**."

"Brengsek lo!"

***

Naqila menatap datar lokernya. Biasanya jam-jam 2 sore begini selalu ada kejutan.

"Kejutannya coba kita lihat!"

Ketika membuka loker bukan sampah seperti biasa yang ia dapati. Tapi sekotak susu coklat yang masih utuh dan masih dingin. Naqila mengernyit. Dari siapa? Ia memandang kearah kanan dan kiri, mungkin orangnya belum jauh. Namun tiada siapa yang ia dapati.

"Alhamdulillah." Ucapnya sambil menyesap susu coklat tersebut. Siapapun itu terima kasih. Batinnya tulus.

Baru saja hatinya berbunga-bunga, mendadak Naqila menyadari kalau kotak makanannya menghilang. Pasti di buang lagi sama Langit. Naqila mengeram, menuju tempat sampah dan membuktikan memang di sanalah makan siangnya berada. Padahal ia belum makan dari pagi, bisa bahaya dan maghnya kambuh kalau ia tidak segera makan.

Sister Of Mistress (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang