Part 23

3.3K 196 2
                                    

Di meja makan, sebuah keluarga hangat sedang menikmati sarapan buatan si menantu kesayangan. Naqi yang memasak sarapan pagi ini, diberikan tanggung jawab langsung oleh Mama. Langit pun lahap sekali mengunyah makanannya, apalagi tadi diambil langsung oleh istri tercinta. Walau kata cinta belum berani ia ucapkan kepada istrinya.

"Pa.. Ma.. mumpung hari libur, Langit mau ngajak Naqi ke rumah kami."

"Apa? Rumah?" Mama Dila menghentikan suapannya. Ia menatap Langit yang sekarang sedang memandangi Naqi yang melotot kearahnya. Langit terkekeh karena gemas. Ia hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mamanya tadi. "Di rumah preman mu itu?"

"Bukan yang itu, rumah itu sudah ku jual sejak S2. Langit dikasi rekomendasi oleh Bian sebuah rumah di dekat sini. Biar Naqila bisa leluasa ke rumah Mama dan Papa jika ia bosan sendiri."

"Kakak belum kasi tau aku tentang ini." Naqi berujar pelan, ia menyentuh lengan Langit agar lelaki itu menatapnya. "Kan Kakak bilang kejutan. Ini kejutannya." Langit mengusap kepala istinya sayang. Perlakuannya tak luput dari perhatian orang tua lelaki ini.

"Memangnya rumah itu laku?" Papa yang berujar, ia begitu tenang mengetahui anaknya bertingkah sesuka hati bahkan sejak SMA. "Rumah itu kan tidak terlalu buruk, Pa."

"Kamu sih, sudah di larang beli rumah sesuka hati, ngabisin hasil usaha sendiri waktu SMA."

"Iya, kamu tau Naqi? Rumah preman itu biasanya Langit buat untuk happy-happy bareng teman-temannya, merokok, membuka musik kuat-kuat. Masih untung kami tahu kalau nggak ini anak mungkin udah jadi pecandu."

"Astagfirullah.." Naqi menutup mulutnya karena kaget. "Eh! Aku emang pernah negrokok tapi udah nggak sekarang." Langit panik Naqi akan ifeel kepadanya. "Kak Langit beli rumah waktu masih SMA? Uang dari mana?"

"Langit punya usaha sediri, bisnis online.. sekarang merek pakaiannya sendiri sudah bisa kamu jumpai di Mal-Mal di seluruh Indonesia." Naqi mengangguk paham atas penjelasan Papa. Sejak SMA saja lelaki ini sudah sangat sukses, pantas teman-temannya nakal karena pasti memanfaatkan kekayaan Langit.

***

Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah dengan halaman yang luas. Rumahnya tidak terlalu besar, bertingkat dua dengan warna putih gading mendominasi. Di sisi kiri rumah ada taman buatan, walau tanamannya belum rambung semua. Itu spot bagus untuk Naqi menghabiskan waktu sengangnya.

"Karena kejutan, aku tidak bisa diskusi masalah rumah bagaimana yang kamu inginkan."

Langit membawa istrinya masuk ke dalam rumah, memperkenalkan sisi-sisi rumah. Kamar tidur mereka, kamar tamu, dapur, ruang kerja Langit, ruang keluarga, perpus mini,ruang olah raga. Semuanya masih kosong, ada pun hanya beberapa perabotan yang Langit beli.

"Dapur adalah ruangan pribadi mu. Apapun yang ingin kau lakukan, silahkan." Langit tahu selain pintar menyuntik dan melakukan bedah, Naqi juga sangat gemar memasak. "Kita akan diskusi masalah apapun. Perabotan.. printilan kecil.." Naqi tersenyum memandang Langit. "Terima kasih."

"Apakah ada sesuatu yang ingin kau rombak?"

Naqi mendekati Langit dan memandangi seluruh ruangan yang nampak di matanya. Semuanya begitu indah.

"Di depan?"

"Oh! Itu khusus untuk kamu praktik nanti jika sudah mendapat izin."

"Kamar tamunya ada berapa? Kenapa di samping dan depan kamar kita juga ada kamar lagi?" itu tepat di lantai atas, mereka akan tidur di sana, tapi yang membuat Naqi heran ada dua kamar yang berdekatan dengan kamar mereka, sebelah kanan dan bagian depan.

Langit berdehem dan salah tingkah. Karena mengingat penjelasan arsiteknya. "Itu... bisa buat kamar tamu juga." Langit mengangguk seolah ingin kalimatnya meyakinkan Naqi, namun gadis itu bukannya puas malah mengernyit minta penjelasan lagi. "Mama dan Papa.. atau saudara ku yang lain. Atau Hana dan Kila bisa jadi..."

"Atau?"

"Atau... a-anak.. kita mungkin." Langit mengangkat bahunya dan memandang kearah yang lain. Astaga dadanya berdebar.

Wanita itu mengangguk paham walau wajahnya telah memerah seperti tomat.

"Maaf ya." Langit menyentuh tangan Naqi.

"Kenapa?"

"Kita belum bisa pindah dalam waktu dekat. Aku harus mengumpulkan uang dulu untuk membeli semua perlengkapan rumah kita, kantor sedang kacau.. untungnya ada kenalan Pak Fathur, jadi sebentar lagi semuanya akan kembali stabil."

"Tidak usah terburu-buru, Naqi juga sekarang sedang menikmati tinggal bersama Mama dan Papa. Apa keadaan kantor begitu parah?"

"Tidak terlalu sekarang, ada yang menfitnah kami, beberapa produk tak laku terjual, ada yang korupsi juga. Makanya sekarang Kakak dan Papa sedang berusaha mengurus semuanya."

"Semangat ya Kak. Semuanya pasti bisa di atasi. Kakak yang terhebat."

"Terima kasih banyak." Langit menarik Naqi dalam pelukannya. "Senangnya bisa cerita masalah yang aku alami." Langit berujar pelan. Naqi yang mendengar itu mengangguk, walaupun dalam pikirannya terusik. Bercerita? Langit bahkan sudah mulai terbuka padanya.. haruskah ia menceritakan masa kelamnya itu?

***

"Bagaimana? Sudah kepikiran untuk menambah sesuatu untuk rumah?"

"Belum kepikiran, Kak." Langit mengangguk paham, ia mengendarai mobilnya dengan pelan, tak ingin cepat-cepat. "Kak?"

"Hm?"

"Ingat tidak waktu masa kuliah dulu?" Langit seketika menengang.

"Ada apa?"

"Hana bilang, saat aku pingsan waktu di fitnah mencuri dompet, Kakak yang mengendong ku ke rumah sakit universitas."

Ada kelegaan di sana sedikit walau kenangan itu membuat hatinya bermuram durja. "Iya, maaf ya menyentuh mu." Naqi menghela nafas, ternyata benar. "Yang memberi susu coklat di dalam loker.. Kakak?"

Langit memandangi wajah istrinya, mengangguk sebagai akuannya. Lampu lalu lintas sedang merah. Jadi Langit leluasa memandangi wajah Naqila. "Kau marah?"

"Tidak.. aku berterima kasih." Naqi menyentuh tangan suaminya lembut. Membuat hati lelaki ini luluh seketika. "Aku ingin mengakui satu hal." Langit melanjutkan perjalananya, lampu sudah menjadi hijau. "Sejak SMA, Kakak memang anak paling nakal dan tidak bisa di atur, menolak semua yang tidak sesuai dengan hati. Mama bilang ingin punya anak lagi saja aku marah besar." Langit terkekeh. Ia begitu jahat saat itu.

"Mungkin itu sebabnya, saat mengangkat mu menjadi anaknya, Mama sama sekali tidak memberi tahu ku."

"Mama juga bilang begitu."

"Setelah kuliah, aku bertemu dengan seorang gadis manis yang culun di jurusan kedokteran." Langit melirik sedikit istrinya, dan kemudian tersenyum. "Kakak ingin mendapatkan perhatiannya karena ia terlalu cuek dan pendiam. Hanya berteman dengan dua sahabatnya. Iseng berujung penyesalan.

Kakak menyesal sekali telah melakukan hal buruk padanya karena ternyata adik sepupu kesayangan ku pun di bully di sekolah sampai ia menyakiti dirinya sendiri, dan berkata ingin mati. Saat Kakak ingin meminta maaf pada gadis itu, ternyata penyebab Kakak lah ada sebuah fitnah besar menimpa dirinya. Menyesal tidak ada gunanya, Kakak malu sekali menampakkan wajah, jadi Kakak berusaha membersihkan nama baiknya sendirian, Papa menolak menolong waktu itu. Setelah nama baiknya kembali, Kakak di paksa Papa keluar negeri dengan alasan S2, ternyata Papa takut Kakak akan kembali menyakiti gadis itu karena gadis itu adalah anak angkatnya."

Langit menepikan mobilnya di salah satu restoran, ia menghadapkan tubuhnya kepada Naqi. Mengenggam jemari istrinya begitu erat. "Ternyata kesalahan Kakak tak henti sampai di situ, Kakak kembali bertemu setelah lima tahun dan lagi-lagi menyakitinya. Bahkan membuatnya hamil dan keguguran. Seharusnya gadis itu membunuh Kakak dan berkata bahwa ia begitu benci pada Kakak."

Naqi telah berkaca-kaca mendengar cerita Langit. Ia berhamburan memeluk lelaki ini. menangis dalam dekapan suaminya. "Sekali lagi, Naqila. Sudikah kamu memaafkan semua kesalahan yang telah ku lakukan pada mu?"

"Sudah berlalu, Kak. Itu masa lalu.. yang terpenting adalah sekarang dan masa depan. Sudah ku maafkan sejak ijab qabul itu."


TBC~

Sister Of Mistress (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang