Part 27

3.1K 188 1
                                    

Naqi mengernyap tanda ia sudah sepenuhnya akan bangun, wanita ini memandang kearah samping kiri, dan tersipu malu karena perbuatannya sendiri. Hanya sebuah pandangan dan ia bisa menjadi seperti itu. Pipinya memerah, dadanya berdebar. Ini berbeda sekali rasanya dibandingkan dengan malam beberapa bulan yang lalu. Terasa lebih berkah dengan untaian kasih yang saling menyatu. Seketika teringat akan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.

"Assalamualaikum." Sapa Langit saat menyadari dirinya di pandangi sang bidadari. Bibirnya merekah indah.

"Waalaikumsalam, subuh, Kak." Langit mengangguk dan memberikan jempolnya. Ia menciumi kening Naqi dan beranjak menuju kamar mandi. Melihat itu Naqi lagi-lagi harus menahan diri, suaminya dengan santai ke kamar mandi tanpa atasan, yah walaupun sudah memakai celana pendek. Badannya bagus, entah kapan Langit berolah raga.

Langit yang berada dalam kamar mandi mengambil wudhu dengan hati gembira, rasanya segar sekali, juga bahagia yang amat sangat. Akhirnya tak lama kemudian mereka sholat dan kembali masuk kedalam selimut. Rasanya ingin bermalas saja berdua di atas ranjang.

"Kamu kedinginan banget ya?" Itu sudah tiga kali Langit ucapkan.

Dasar lelaki nggak peka! Aku itu malu!!

Naqi hanya mengeleng sebagai jawaban. Berusaha menutupi bekas-bekas merah dileher. Sedangkan Langit hanya menatap heran di sampingnya, ia mengeser tubuh agar mendekati Naqi, memeluknya lagi. Sepertinya Langit sudah berubah menjadi teletubis, ia suka sekali memeluk Naqila akhir-akhir ini. "Pipi kamu merah dari subuh tadi. Kalau dingin kita naikkan suhunya."

"Nggak kok." Ucap Naqi pelan. Ia bersembunyi di dada Langit. Ikut membalas pelukan itu. Sebenarnya hanya untuk menyembunyikan warna pipinya yang tak kunjung berubah. Dadanya berdebar bahkan sejak ia bangun tadi.

"Kita mau kemana hari ini?"

"Di kamar saja." Langit tersenyum miring. Ia melirik Naqi yang tampak jengkel dengan jawabannya. "Aku baru ngerasain pengantin baru. Di sini saja lah.. lebih enak."

"Kakak!"

Langit tertawa sekaligus mengaduh karena Naqi mencubit pinggangnya. "Malam tadi kan hanya sebentar liat auroranya. Kemungkinan malam ini akan muncul lagi."

"Oh ya?"

"Hm," Langit mengangguk. Ia menarik tubuh istrinya semakin mendekat, mengeratkan selimut putih tebal yang mereka kenakan. Hening sejenak beberapa saat, hanya ada suara mesih pemanas ruangan dan kesunyian. Langit memang memejamkan mata namun ia sebenarnya belum tertidur. "Kak? Udah tidur?"

"Belum." Langit menjawab dengan mata ternutup, Naqi bisa melihat itu karena ia mendongakkan kepala untuk memastikan. "Kakak bahagia?"

"Sangat." Terasa sebuah kecupan di kening Naqi. Wanita itu ikut tersenyum, berbunga rasanya. Entah mengapa hatinya telah terjadi musim semi yang indah. "Aku ingin bercerita." Langit yang mendengar itu pun membuka mata kemudian membaringkan tubuhnya sedikit ke bawah agar posisi wajahnya selaras dengan posisi wajah Naqi.

"Aku dengarkan."

"Aku punya trauma karena masa kecil."

Langit memilih mengusap rambut Naqi. Ini mungkin waktu yang tepat bagi wanitanya untuk bercerita. Langit dengan sabar menunggu lanjutan. "Aku.. adalah seorang gadis kecil miskin yang ditinggal kedua orang tua akibat terbunuh. Secara garis besarnya sebagai korban pengeroyokan."

"Bagaimana bisa?" Langit tergugu, wanitanya pasti sangat terpukul.

"Aku tidak tahu, saat itu umur ku masih 6 tahun."

"Lalu?"

"Lalu aku di asuh oleh Nenek di kampung, hanya tiga bulan karena selepas itu, Nenek meninggal karena usia. Akhirnya aku tinggal dengan paman. Adik ayah."

Sister Of Mistress (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang