Part 24

2.5K 174 2
                                    

"Rekomendasi tempat honeymoon?" Bian tertawa keras melihat wajah bingung Langit. Sangking tak menyangkanya dia bahwa temannya sekarang sudah berubah total. Langit menyembunyikan ponselnya ke laci meja kantor. Sial! Bian melihat apa yang ia serching diinternet barusan. "Bawa ke Lagoi saja.. sekalian peresmian pembukaan hotel mu. Setiap orang menyukai pantai kan?"

Langit mengeleng keras, ia mendehem sebelum membalas olokan Bian barusan. "Aku tidak suka pantai."

"Sejak kapan? Lalu kenapa semangat sekali membuka hotel di sana?"

"Pantai mengingatkan ku pada Pak Fathur, dulu dia pernah membawa Naqila jalan-jalan ke pantai."

"Oh! Cemburu ceritanya."

"Ck!"

Langit tak ingin membalas lagi. Ia sudah sibuk dengan berkas-berkas tebal yang harus ia baca dan tanda tangani. Tak mengindahkan Bian yang sedang menatapnya jenaka. "Ayolah.. aku jauh-jauh kemari untuk mengajak mu makan siang. Sekaligus membicarakan proyek baru kita bersama Angel."

"Aku tidak menyetujuinya."

"Berkas sudah di tanda-tangani Pak Guntur, Langit. Kau tak berkutik, Papa mu memiliki hak penuh atas perusahaan ini, walaupun sekarang kau adalah CEO-nya. Angel juga sepertinya ingin bertemu dengan mu."

Langit masih tak bergeming. Malas sekali harus membicarakan proyek baru yang disetujui oleh Papanya tanpa sepengetahuan Langit. Lelaki itu masih bergelut dengan berkas di depannya, memang tak mempedulikan keberadaan Bian.

Bian yang diam di sofa akhirnya malas merecoki sahabatnya ini. memilih beranjak dan memilih makan siang di udara lagi. Karena setelah jam makan siang memang ia harus terbang ke Bali.

"Kalau begitu, aku pergi du-"

BRAK!!

Sebelum Bian siap menyelesaikan kalimatnya, Langit mendadak mengebrak mejanya dengan berkas yang berada di tangan sembari berdiri. Matanya menatap Bian dengan senyuman. "Aku tau tempatnya." Bian tak habis pikir apa yang diucapkan Langit. Lelaki itu memang bekerja tapi otaknya memikirkan hal lain. "Honeymoon? Dimana?"

"Rahasia."

"Hei.. Hei.. bos, sekarang kau mau kemana ha?"

"Aku mau minta cuti, aku akan berangkat besok." Langit mengambil kunci mobilnya dan segera beranjak meninggalkan Bian sendirian dalam ruangan.

Jam makan siang belum sepenuhnya selesai, namun ketika sampai di rumahnya, jam sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB. Begitu cepatnya ia mengendarai mobil. Langit merasa tak sabar. Karena hal ini sangat penting. Langit turun dari mobil dan segera mencari keberadaan istrinya.

Ah! Itu dia

Langit melangkah mendekati arah dapur. Terlihat di sana Naqila sedang mengelap beberapa tempat karena habis memasak.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Eh? Kakak kok udah pulang?"

Naqi mendekati suaminya yang baru saja muncul di dapur. Naqi baru selesai masak, Mama Dila sedang tidak berada di rumah karena ada arisan sesama bidan. Jadilah ia yang mengurus rumah hari ini. Naqi sedikit menjauh karena baru ingat bahwa ia belum mandi dan pasti bau bawang.

"Aku mengajukan cuti." Ujar Langit sedikit bersemangat. Ia mendekati istrinya dengan santai. Walau Naqi terlihat acak-acakan, rambutnya di cepol asal, wajahnya sedikit berminyak, bau bawang, dan baju lusuh, tampak tak mengurangi rasa terpesona Langit. "Jangan deket-deket.. Naqi belum mandi. Bauk."

Langit tersenyum, ia menarik lengan istrinya dan memeluk sebentar sebelum menciumi kening Naqila. "Wangi." Naqi tersenyum malu-malu. Ia menyembunyikannya dengan cara menunduk. Langit memandang Naqi yang menciumi tangannya takzim. "Cuti? Mau kemana emangnya?"

"Kita honeymoon."

"Ha?! Kapan?"

"Besok."

"HAA?!" Naqi kaget sekali. Kenapa mendadak?? Dan.. apa? Honey.. moon?? Seketika wajah Naqi bersemu merah. Membuat Langit harus mati-matian menahan senyumnya. "Iya, Papa izinkan. Lagi pula sekarang waktu yang pas untuk ke sana."

"Memangnya kemana?"

"Kau akan tahu nanti. Sekarang kita persiapkan semuanya, pilih pakaian tebal dan barang-barang musim dingin."

"Tapi Naqi nggak punya."

"Kita belanja."

Mereka akhirnya bersiap-siap untuk keberangkatan besok. Langit tak lupa untuk menghubungi Joni agar memesan tiket keberangkatan dan beberapa keperluan. Seusai belanja beberapa pakaian beserta sepatu dan lain halnya. Memberi tahu beberapa orang dan mengurusi hal-hal penting yang kira-kira akan di hendel selama seminggu kedepan. Akhirnya Langit dan Naqi bisa bernafas lega.

Tak terasa sekali mereka selesai mengurusi keperluan besok hingga malam telah tiba. Hitamnya angkasa yang bertabur bintang disepanjang pandangan menghibur hati. Langit berbaring di atas kasur setelah packing baju selesai. Di susul oleh Naqi yang ikut merebahkan punggungnya di ranjang mereka. Ia sungguh lelah.

"Sudah malam. Tidurlah, pasti capek ngurusin semuanya mendadak gini."

"Kakak sih, kok ngasi tahunya mendadak."

"Baru kepikirannya sore tadi."

Naqi menatap wajah suaminya tak percaya. Untung sayang.

"Mau kemana sih Kak?"

"Yang pasti nggak ke pantai."

Apa hanya Naqi yang berpikiran bahwa Langit bahkan masih mengungkit masalah dirinya yang dulu pernah jalan-jalan bersama keluarga pak Fathur ke pantai? Lelaki ini cemburu kah?

"Oke.. oke.."

Naqi mengubah posisi tidurannya agar lebih nyaman, tubuhnya menghadap kearah Langit, memandangi suaminya yang memejamkan mata. Mungkin sudah mengantuk. "Kenapa mendadak ngajak bulan madu, Kak?"

Langit menoleh kearah sumber suara, ia ikut memiringkan tubuh menghadap Naqila, menyamankan posisi agar terasa lebih leluasa. "Sudah hampir dua bulan sejak kamu keguguran. Aku sibuk sama pekerjaan. Alhamdulillah akhirnya kembali seperti semula, bahkan akan ada proyek baru lagi bareng Bian. Emangnya selama itu kamu nggak ngerasa di acuhkan?"

Naqi mengigit bibirnya grogi. Mau mengakui tapi malu. Memang Langit menjadi lebih sering pulang larut dan pergi pagi-pagi sekali, waktu weekend pun terpakai untuk kerjaan. Apalagi, ia merombak beberapa bagian rumah baru mereka dan ikut mengawasi prosesnya, tata letak juga tak luput dari pantauan Langit. Naqi kadang-kadang ikut karena ia juga ingin mengawasi tata letak beberapa prabotan. Dan juga keperluan kliniknya nanti.

"Sini." Langit menarik pinggang Naqi agar mendekat, memeluknya dan menyenderkan dagu di atas kepala sang istri. Naqi sampai heran mengapa lelaki ini selalu wangi bahkan setelah berkeringat seperti sekarang. "Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Tapi nggak sekarang, nanti di sana saja."

Naqi memilih untuk mengangguk, karena rasa kantuk pun mulai menyerang tubuhnya, rasa hangat dan nyaman membuatnya malas hanya sekedar beranjak untuk mandi. Mereka berdua akhirnya tertidur. Tak mempedulikan keadaan kamar yang masih berserakan dan beberapa barang yang masih belum di masukkan ke koper, khusus peralatan kecil.

Langit bahkan belum ada mandi sejak pulang dari kantor sore tadi, karena yang mandi hanya Naqi sebelum mereka keluar untuk membeli beberapa keperluan. Biarlah, Naqi saja tidak keberatan dalam dekapannya.

Kenapa juga Naqi mendadak menjadi wangi begini? Aduh! Tolonglah pengertiannya sedikit wahai jiwa, bukan sekarang waktunya oke?! Untung saja aku lelah, jika tidak? Agkkkhh... entahlah!

Yang penting besok pagi berangkat, dan di sana akan menjadi momen penting bagi ku dan pastinya bagi Naqi.


TBC~

Sister Of Mistress (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang