Part 28

2.7K 180 1
                                    

Bandara tampak ramai di akhir tahun, walaupun sudah malam dan udara Januari yang panas. Semua yang disana tampak tak terusik karena hal itu. Sudah seminggu pasangan ini di negara es dan akhirnya pulang ke Jakarta. Menikmati perubahan tahun di sana, walaupun mereka tak peduli dan tidak merayakan tahun baru seperti orang-orang. Mereka begitu menikmati hari-hari di sana, jalan-jalan, mengunjungi tempat-tempat indah, dan tentunya.. ah! Tidak perlu kita bahas di sini.

Bian menunggu seorang diri di sana, ia baru saja pulang dari kantor, mumpung lembur dan pulang malam, jadilah Bian yang menjemput Langit dan Naqi. Tangan kanannya dimasukkan ke dalam saku, sedangkan tangan kiri terangkat untuk memudahkan Bian melihat jam. Sekitar sepuluh menit, akhirnya dua orang yang di tunggu datang dengan begitu banyak barang bawaan. Langit dapat melihat lelaki itu dari kejauhan, ia tersenyum dan menarik Naqi untuk mendekati Bian.

"Katanya tidak mau."

"Tidak gratis."

Langit tertawa, ia meninju pundak Bian dan mengandeng Naqi untuk menuju mobil sahabatnya itu.

"Bagaimana kabar mu, Naqila?"

"Alhamdulillah, baik. Kakak bagaimana?"

"Kau bisa lihat sendiri."

Naqi mengangguk, ia sempat binggung atas perbahan sifat Bian kepadanya. Lelaki itu tidak meliriknya sedikit pun di dalam mobil, membuatnya heran dan menatap Langit yang hanya tersenyum miring dan mengangkat bahu acuh. Padahal dengan sifat ramahnya membuatnya dengan mudah membagi cerita. Mereka baru bertemu setelah sekian tahun tidak berjumpa. Tapi memang waktu bisa mengubah seseorang entahlah karena suatu hal yang dapat memicunya.

"Ku harap Iceland sangat menyenangkan bagi mu."

"Di sana sangat indah dan menarik. Kakak bisa berlibur di sana jika sudah menikah nanti." Naqi tersenyum. Ia pun dapat melihat raut wajah bahagia Langit walaupun lelaki itu duduk di samping Bian yang sedang mengemudi.

"Bian tidak akan menikah. Dia benci perempuan." Langit tertawa kecil ketika mendapati Bian mencebik geram atas kalimatnya barusan. "Aku akan menikah jika perempuan itu seperti mu."

"Woy!!" Langit merasa terusik. Hampir saja tinjunya melayang ke wajah Bian jika bukan karena Naqi yang menahan bahunya. Wanita itu bahkan tertawa lucu.

Mereka menikmati percakapan ringan di dalam mobil, Naqi pun ikut bercerita tentang banyak hal. Tak butuh waktu lama, Bian akhirnya menepikan mobil di halaman luas rumah Langit. Di sana sudah ada Mama Dila dan Papa yang menunggu. Segera berhambur dalam pelukan Naqi sembari membawa si menantu masuk ke dalam rumah. Bian menyender di mobilnya sembari bersidekap. Menatap lurus kearah Langit yang tampak lebih bahagia setelah pulang dari bulan madunya.

"Aku serius." Bian memulai pembicaraan ketika Langit sedang mengangkat barangnya, lelaki itu pun akhirnya berdiri di hadapan Bian. Memasukkan tangan ke kantong celana. "Serius apanya?"

Bian hanya diam. Hatinya berkecamuk dan kacau. Ia begitu ingin kebahagiaan yang terpancar dari wajah Langit tapi bagaimana caranya? "Aku.. juga ingin seperti diri mu."

"Kau kurang lebih seperti aku sekarang." Langit menarik rambutnya ke belakang, Bian mengeleng dan menunduk, kemudian ia terkekeh menertawai hidupnya. "Kau merasa hampa?" Bian menatap Langit karena ucapan sahabatnya begitu mengena. "Aku ingin memiliki seseorang jika saja wanita itu seperti Naqila."

"Tidak ada orang yang sama di dunia ini, jika kau ingin yang persis sama. Itu artinya baru saja kau mengajak ku berkelahi, Bian." Langit ikut bersedekap. Menatap tajam Bian.

"Jangan salah paham." Bian menghembuskan nafas panjang setelah berkata begitu, ia menepuk bahu Langit.

"Jangan samakan semua perempuan seperti 'wanita' itu."

Bian diam seribu bahasa. Mengusap wajahnya kasar.

***

"Dimana Langit? Kok belum masuk?"

"Mungkin lagi ngobrol bareng Kak Bian, Ma." Naqi membereskan beberapa barang. Setelah itu dia duduk di samping Mama Dila di sofa ruang tengah.

"Bagaimana di sana?"

"Seru, menyenangkan, Naqi suka."

"Kau tampak lebih cerah setelah pulang."

"Benarkah?"

"Apalagi anak laki-laki Mama. Kamu apakan dia hm?" Mama Dila terkekeh geli. Ia memegang jemari putrinya ini. "Terima kasih sudah menerima Langit." Naqi hanya mengangguk dan membalas senyuman Mamanya.

"Atas segala perbuatannya pada mu dulu. Dan paksaan Mama agar kamu mau menikah dengan Langit supaya menutupi rasa malu keluarga."

Naqi memeluk Mama Dila seketika itu juga. Sejak dia menikah, Mama Dila tidak pernah membahas sedikitpun tentang pernikahan ini. Ia hanya sesekali terlihat menatap Naqi dengan tatapan yang Naqi sendiri tidak paham. Mungkin setelah melihat wajahnya dan Langit yang tampak lebih bahagia sehabis bulan madu membuat wanita cantik malaikatnya ini akhirnya berani mengatakan itu. Tentang rasa bahagianya dan terima kasihnya.

"Loh? Hanya seminggu udah melow begini. Gimana besok aku sama Naqi pindah, Ma?"

"Kak Bian mana, Kak?" Langit mengerutkan keningnya saat Naqi menanyai lelaki lain. Seketika ia merasa posisinya sedikit terusik dan itu membuatnya marah.

"Pulang."

"Nggak ikut makan malam di rumah?" Naqi membalas ucapan bernada ketus Langit barusan.

"Mama masak apa?" Langit mendekat. Duduk di samping Mamanya.

"Makanan kesukaan Naqila dong. Sayang sekali Bian tidak ikut."

"Dia sudah makan." Langit bersandar di sofa. Mamanya mulai ikutan.

"Assalamualaikum, siapa bilang aku pulang?" Bian tersenyum dan menyalami tangan Mama Dila.

"Waalaikumsalam. Loh.. orangnya ada kok belum pulang. Yuk makan bareng, terima kasih ya sudah mau jemput anak sama mantu Mama."

"Nggak gratis loh, Ma. Bayarannya ya masakan Mama dong." Mama Dila tertawa, ia mengandeng tangan Bian dan membawanya menuju meja makan. Di sana sudah berkumpul semua orang, Papa pun sudah duduk dengan takzim di kursinya. Sedangkan sedari tadi Bian asik mengamati sikap Langit dan Naqi. Perempuan itu begitu melayani suaminya, tak tampak mesra tapi sikapnya menunjukkan lebih dari sebuah kemesraan.

Mama Dila dapat menangkap hal itu. Ada sedikit rasa khawatir bahwa Bian akan merasa iri. Tapi juga merasa geli karena itu artinya Bian membutuhkan seseorang untuk menemaninya.

Sehabis makan malam, Bian pamit pulang. Mama Dila pun tak ingin menganggu Langit dan Naqi akhirnya menuju kamarnya. Sebelum itu, Naqi sempat penasaran apa yang diucapkan oleh Mama Dila ke suaminya, karena mereka tampak berbisik dan Langit terlihat salah tingkah.

Tak terasa akhirnya mereka bisa berbaring di kasur putih kesayangan. Masakan Mama memang luar biasa, tak tertandingi walaupun sebagian besar rasa masakan Naqi mirip masakan Mama Dila.

"Kangen kasur." Naqi yang sedang bertelungkup memeluk bantalnya dengan antusias.

"Capek?"

Naqi mengangguk walaupun ia tersenyum. "Capek sih, tapi nggak terlalu."

"Mulai besok aku balik kerja lagi, dan mungkin balik sibuk lagi."

"Seminggu terasa cepat ya."

Langit mengusap rambut Naqi, mendekatkan diri agar ia bisa mencium wanginya Naqi akhir-akhir ini. "Ih.. aku belum ada keramas loh, Kak." Naqi menyadari bahwa Langit mulai intens menciumi kepala dan wajahnya, ia memang sudah menanggalkan jilbab saat baru sampai di kamar. Langit melepaskan Naqi, menatap istrinya dengan wajah serius. Membuat wanita itu menjadi heran dan ikut serius.

Tak lama setelahnya, Langit beranjak dari kasurnya, memutari ranjang dan mengangkat Naqi dalam gendongan, "Aaaaa!!" Naqi terkejut. Langit membawa wanita itu menuju kamar mandi. "Loh? Ngapain, Kak?"

"Wudhu."

"Ha?"

"Buat cucu untuk Mama."


TBC~

Sister Of Mistress (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang