Angin salju bergumul di luar sana. Dari sela-sela jendela, udara dingin meneboros masuk.
Aku masih duduk di tempat yang sama, dengan tangan berlipat di atas meja memangku daguku.
Menyaksikan pelita yang kubakar satu jam tadi, perlahan melalap lilin di dalam cawan.
Dingin, gigiku bergeletuk,
tubuhku bergetar pelan, diam-diam aku menahan dingin yang menusuk.Berharap sebuah usapan di bahuku memberi kehangatan. Berharap segelas coklat menghangatkan dadaku.
Cih, apa yang kuharapkan.
Pemandangan di luar rumah masih tetap sama, salju masih berguling, angin dingin semakin menggigit, pelita nyaris meredup, segelas coklat tidak lagi hangat.
Apalagi yang kutunggu?
Keadaan di sini, masih tetap sama. Malah mungkin, kehangatan itu telah lama menghilang. Pergi, tak pernah berbalik sama sekali.
Tidak, sebenarnya,
ini sudah tidak sama lagi.Semuanya berubah. Aku ditinggalkan waktu. Dibuang oleh kesempatan. Tak pernah bisa meraih apapun.
Aku mengelak.
Hatiku mengeras dan terus menolak. Aku tidak mau percaya.
Aku tidak mau menerima.Semua kenyataan ini, terlalu pahit. Aku ingin melupakan semua ini. Tinggal di sini. Tetap di sini. Berada di sini.
Mencari sisa kehangatanmu. Memelukmu dalam angan yang membekukan. Sebuah rindu yang sungkan melepaskan. Sebuah kenyataan yang berdiam dalam kedinginan. Hidup ini, sudah kehilangan sinar hangatnya,
dan sinar hangatnya itu adalah kamu.
Harapan di tengah kabut yang gelap.—With Ev
6 November 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
rasa - peri, puisi dalam nadi ✓
Poetry[credit for cover by @shadriella] Ternyata aku terjatuh begitu dalam, kesulitan bangkit berdiri Tak mampu melangkah Salah siapa-kah ini? Pantaskah diriku- menyalahkan nasib? Kenyataannya dipandang sebelah mata sangat mematikan dibanding cibiran oran...