e m p a t ; - -Menutup Mata

48 22 2
                                    

Aku tidak tau ...

Kataku habis.

Tiada lagi yang mampu kuungkapkan.

Sepele masalah malah menghancurkan ikatan.

Aku tidak mau itu terjadi.

Aku tidak mau kamu yang menjadi alasan membuatku kehilangan alasan.

Aku tidak bisa menatap kedepan tanpa kamu di sisiku.

Berat sekali rasanya.

Aku sakit.
Aku gunda gulana.

Pukulan bertubi-tubi kurasakan begitu sesak.

Tak mampu kutahan.

Hatiku meluruh dengan jutaan tusukan.

Kenapa?
Semua terasa sepele di matamu.

Selama ini kemana matamu menjelata?

Aku di sini.
Mendengar, melihat,
memperhatikan.

Merespon,
bahkan setia menjadi pelampiasan.

Namun kamu yang di utara pun seakan jauh di selatan.

Kamu mencari yang terbaik di lain tempat. Melangkah jauh demi kepuasaan yang tak kau sadari.

Tepat di belakangmu, aku berdiri. Menyaksikanmu mencari sesuatu yang hilang padahal ada yang menunggu.

Ikhlas memberimu perhatian.

Memberi semua yang kau butuhkan bahkan sampai titik terkecil pun.

Tetapi, lagi-lagi
kamu tidak pernah menoleh.

Aku merasa takut.

Seharusnya aku bebas dan bahagia terlepas dari lingkar gelapmu.

Namun sebaliknya yang kurasakan hanyalah keresahan, kegelisahan, kecemasan, ketakutan.

Aku tidak bisa ...

Sekali lagi, kurendahkan diriku berlari menggapai bahumu,

lalu berbisik apa yang mengusik batinmu?

Kemudian seperti hempasan angin pada daun kering kamu mengatakannya tanpa beban,

"Aku mencari seseorang yang mengerti aku, mereka yang lain membuatku bosan."

Aku menangis dalam hati. Terlalu terkejut dengan semua kenyataan.

Semua alasanmu menamparku. Menyadarkanku untuk bangkit dan tidak terperosok jatuh.

Seharusnya aku berlari terbirit menjauh tapi lagi-lagi aku merengkuhmu. Membawamu dalam kehangatan yang selalau kau acuhkan.

Siapakah aku ini? Hingga sedetik hadirku pun kau anggap angin lalu?

Ingin mengatakan kata hatiku,
tapi aku merasa begitu egois untuk mengungkapkannya.

Karna aku tau,
beban dipundakmu juga
berat.

Kembali, aku lagi-lagi merendah dengan mendahulukan keinginanmu.
Tidakkah kau sadar?
Aku sudah kau hempaskan jatuh kebawah berkali-kali.

Namun harapanku tetap delusi.

Kenyataan kembali membawaku pada gambaran dirimu dalam kefoya-foyaan.

Rasa takut itu kembali muncul. Lebih kuat dari sebelumnya. Hingga keringat dingin dan gemetar tubuhku tak kuasa menyaksikan.

Ingin sekali aku menangis. Membiarkan air mataku luruh menderas. Membiarkan mulutku berseru meraung-raung penuh kepedihan.

Aku terluka sangat dalam. Rasanya sesak dan sakit. Aku tak kuasa. Aku tak sanggup. Aku— Tak bisa menahannya lagi.

Sejujurnya,

aku tidak mampu.

Tak akan pernah mampu kehilangan dirimu.

Kamu ...

Yang mengerti, mendengar curahanku, namun aku selalu menghentikanmu ketika geram mulai menguasai logikamu.

Aku tidak bisa tanpamu.

Ya.

Karna sebanyak apapun kamu menghempaskanku. Berkali-kali pun kamu menyakitiku. Beribu-ribu kata pedas pun yang meluncur dari bibirmu. Kakiku tidak akan goyah.

Kamu satu-satunya orang yang layak kuperjuangkan.

Kamu tak layak sendiri.
Eksistensimu ada di atas. Mengendalikan dan memerintah. Bukan dikendalikan ataupun diperintahkan.

Sekali lagi, aku merendah.

Memberimu kesempatan lagi ...

Karna pada kenyataannya,
aku takut.

Takut kehilangan dirimu.

[]


With Ev—

rasa - peri, puisi dalam nadi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang