Mr. Unpredictable

1.6K 101 4
                                    

Mr. Unpredictable

Gue ngerasa aneh sendiri dengan apa yang gue lakukan sekarang. Mungkin bagi orang lain biasa tapi no buat gue karena satu, gue nggak begitu suka sama anak kecil. Dua, gue nggak suka sama anak kecil, dan. Tiga, gue memang nggak suka sama anak kecil. Jadi, nggak salah dong kalau gue anggap diri gue sendiri aneh karena sekarang gue lagi main tang-ting-tung-tang-ting-tung sama adek kembar tiga gue.

Selepas pulang dari Lotus pemandangan mama lagi sibuk di depan laptop sambil masih ngawasin bayi kembar tiga yang sudah seperti ikan goreng karena bisa tengkurep meskipun nggak bisa buat balik lagi. Seriusan, cuma Malik yang udah mahir buat tengkurep-terlentang dan sebaliknya. Sedangkan Rohman dan Rohim hanya bisa tengkurep lalu setelah itu bakal megap-megap nangis gara-gara nggak bisa balik terlentang. Dasar bayi!

“Mama udah mulai kerja lagi?”

“He-hemm.” Jawab mama masih dengan focus ke laptopnya. Memang sih selama ini mama kerja di butik bridal bisnis joinan sama Tante Tata, teman sehidup semati mama. Dan karena ngurusin adek-adek apalagi sejak kasus divorced, mama lebih sering di rumah dan sama sekali nggak kesentuh sama pekerjaan, kecuali hari ini mungkin.

“Kamu sudah dapat tempat magang?”

“Sudah, di café temannya Ody.”

Mama ngangguk sekilas sebelum kembali ke laptopnya. “Dy, bantuin mama periksa laporan keuangan ini yah, mama mau siapin makan malam.”

Rohim masih bandel pengen bolak-balik badan. Untung bed buat mereka ditaruh di atas lantai tepat gini, coba kalau ada dipan pasti udah gulung-gulung gedebug nih bayi.

“Udah, adek kamu ditinggal aja nggak papa. Cepetan tuh periksa laporan keuangan. Tadi tante Tata baru aja e-mail ke mama.”

Diantara banyaknya kekurangan gue, mungkin akuntansi bisa jadi salah satu hal yang bisa gue banggakan. Apalagi di akuntansi point gue selalu lebih tinggi daripada Mikah. Oh ya, ngomong-ngomong soal Mikah, gue mesti ngomong sama dia soal magang di Lotus. Tapi nanti aja lah kalau waktunya mepet biar tuh anak nggak ngintilin gue. Haha, padahal biasanya gue yang selalu ngekorin Mikah.

“Nggak ada masalah.” Mama cuma ngangguk, masih sibuk sama daging ayam di penggorengan. Mending gue balik main sama si Triplets. “Ma, laptopnya Ody matiin atau biarin aja?”

“Biarin aja.”

“Ody nyetel music ya?”

“Hem.”

Demi deh, mama harusnya beli mouse portable aja. Tadinya mau niat buat play music di WMP tapi pas lihat background desktop gue jadi bingung mau ekspresi kayak gimana. Antara pengen nangis sama kesel luar biasa. Foto mama, Rohman, Rohim, Malik, sama papa. Huh, bahkan buat nyebut kata papa gue mau keselek, durhaka nggak sih? Astaghfirullah… Di foto itu nggak ada gue karena gue yang ambil gambar. Latar taman benar-benar sempurna tapi bahkan gue nggak tahu kalau ternyata bahagia mereka nggak bertahan lebih lama dari kemarin.

Family of The Year – Hero. Seperti keluarga gue, family of the year, and We really let him go… Haha, gue sok melodramatis gini.

Let me go,

I don’t wanna be your hero

I don’t wanna be a big man

I just wanna fight with everyone else

“Ayo makan malam dulu.” Sometime gue ngerasa kalau antara gue sama mama punya semacam telepati yang tanpa ngomong apa-apa kita sudah tahu bagaimana perasaan masing-masing. Gue sama mama memang bukan tipe yang suka curhat sana sini  seperti sahabat meskipun gue anak satu-satunya sebelum triplets lahir. Tapi lebih dari itu, mama seperti selalu tahu kalau ada yang nggak baik sama gue.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang