Changed

1.3K 96 2
                                    

*noproofread

Let's loosen up!

Changed

Jam sebelas lebih empat puluh tujuh menit. Tiga belas menit lagi istirahat makan siang dan gue masih terjebak dengan tumpukan data-data administrasi dari bulan pertama tahun ini. Mbak Di sengaja ngerjain gue.

“Masih belum selesai juga buat rekapnya?” Gue cuma senyum semanis mungkin ke arah mbak Di yang dengan cantiknya berhasil duduk di kursi kebanggaannya. Gue sendiri duduk di sofa meskipun gue yang ngerjain pekerjaan tuh monster. Tak apalah, hitung-hitung nambah pengalaman biarpun gue dijadiin jongos begini.

“Lo suka sama Justin Timberlake?” Tanya mbak Di tiba-tiba.

Gue masih berusaha mikir maksud pertanyaannya yang random itu sampai telinga gue denger lagu Mirror punya Justin Timberlake dari MP3 player laptop gue.

“Nggak juga, gue cuma kebetulan suka sama lagunya. Meaningful, romantic, tapi nggak murahan.” Dan gue juga suka melodinya yang santai dan asik buat didengerin dalam segala kondisi, kind of relaxing. Haha, kayak iklan parabola.

“Jadi total pegawai di Lotus 28 orang?”

Mbak Di langsung meng-iyakan. “28 orang termasuk gue. 12 waiters termasuk kasir yang gantian shift pagi-sore-malam dan dua waiters side job weekend malam, lima pegawai admin termasuk gue, enam di dapur yang juga gantian shift pagi-sore-malam, dua cleaning service, dan satu satpam.”

Lumayan banyak juga Cuma buat café doang. Tapi lihat gimana ramainya Lotus tiap hari nggak heran juga sih.

“Gue udah e-mail tuh filenya. Lo buruan periksa biar kalau ada yang sekiranya salah langsung gue perbaiki.” Gue diamsebentar lihat mbak Di langsung sibuk sama laptopnya. “Mbak?”

“Hemm.”

“Gue harusnya kan manggil lo ibu Diva kayak karyawan yang lain kan?”

Mbak Di lihatin gue sebentar lalu ngangguk setuju. “Mungkin lo harus belajar buat gimana sikap professional lingkungan kerja. Tapi gue nggak mau lo manggil gue ibu kalau lagi berdua begini. Ngerti lo anak kecil?”

“Iya deh yang dah de-wa-sa. Sama itu, lo buatin job desk gue juga kan? Buat laporan ke dosen pembimbing gue.”

“Gampang.”

Kalau sudah diem begini pikiran gue pasti langsung terbang kemana-mana. Dan gue paling sebel kalau Mikah yang jadi pusat kerja otak seperti saat ini. Sejak kejadian hari itu kita beneran nggak ada komunikasi apalagi ditambah selama hampil sepuluh minggu harus magang dan nggak ada ketemu, atau mungkin kalau ada urusan di kampus nanti.

“Daripada lo ngelamun nggak guna mending bantuin di kasir sana deh. Biar gantian makan siang.”

Gue langsung berdiri dan merapikan rok hitam dengan panjang di bawah lutut. Berasa mau di ospek, rok warna hitam dan baju putih lengan panjang. Nggak ada yang aneh sih memang, tapi mendingan gue juga pakai sweater tipis warna biru. Nah, pas!

Mbak Di masih kelihatan serius sama laptopnya waktu gue keluar ruangan. Oh iya, gue baru tahu kalau music di Lotus itu berasal dari sebuah kubikel kecil di pojok ruang staff. Dan sesuai dugaan, yang ngatur playlistnya mbak Diva.

“Mbak, biar saya yang gantiin. Kemarin sudah diajari sama mas Fadly kok. Mbak gentian makan siang dulu aja.”

Putri, name tag yang gue baca, langsung senyum berterima kasih. Kelihatan banget pasti kerjanya nonstop dari tadi pagi. Lotus buka dari jam sepuluh pagi sampai sepuluh malam di weekdays dan jam delapan pagi sampai jam dua belas malam saat weekend. Dan buat staff kayak gue cukup kerja dari jam delapan sampai jam lima sore senin sampai sabtu.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang