**noproofread
Friend?
Habis shalat magrib langsung cek ulang penampilan gue di kaca. Well, gue nggak mau kelihatan terlalu effort tapi gue juga nggak mau terkesan effortless. Maksudnya, gue nggak tahu konser jenis apa yang mau gue tonton nanti dan Reval juga nggak ada ngomong apa-apa dan kenapa juga gue nggak nanya aja. Maksudnya, bukannya gue mau stereotype atau gimana. Tapi ngelihat Reval, mungkin aja kalau dia ngajakin gue ke konser jazz, semacam itu. You know, like old romance, meskipun gue nggak ada hubungan seprti itu tapi siapa tahu kan? Maksudnya, siapa tahu dia ngajakin ke konser jazz, mungkin.
Dress model vintage, dengan atasan lace lengan panjang warna tosca plus rok hitam pas di bawah dengkul. Not bad kan? Tadinya mau pakai convers atau sneakers tapi akhirnya ngalah ke flat shoes warna hitam satu-satunya yang gue punya karena high heels jelas nggak ada di daftar cadangan sekalipun.
Karena rambut gue bukan jenis rambut model iklan sampo yang nurut kalau dikibas-kibas jadinya gue lebih milih kepang satu buat nyari aman. Pelembab sama lip gloss cukup. Well, seenggaknya gue nggak kelihatan kucel bin kummel. Lagian, pelembab memang selalu cukup buat gue, tanpa bedak sekalipun karena komponen paling penting buat gue dalam urusan dandan adalah deodorant on dan perfume splash splah.
Tas kecil punya mama sudah terisi dompet, ponsel, powerbank, tisu, dan minyak angin aroma terapi yang Afgan jadi bintang iklannya. Gue suka aroma bubble gum. Kotak kado kecil yang nyari di saat-saat terakhir.
“Temen kamu dah dateng tuh.”
Mama berdiri sambil nyender ke pintu ngelihatin gue dari atas sampai bawah. “Seriusan itu cuma temen kamu? Bukan pacar atau gebetan?”
“Nggak lah. Lagian dia tuh udah ada yang punya kali ma. Ini tuh cuma hang out biasa.”
Mama masih ngelihatin gue curiga. Emangnya muka gue tukang ngibul banget ya sampai mama sendiri susah buat percaya?
“Kalau hang out biasa, kenapa kamu dandan niat banget?”
“Ya ampun mama, Ody tampil kumel di ceramahin. Terus kalo dandan rapi dicurigai. Duh, ya udah kali mah, tandanya Ody tuh sedikit-sedikit belajar jadi cewek beneran.”
Last check. “Ody berangkat dulu. Assalamu’alaikum. Nggak usah anter sampai depan.” Gue langsung lari turun ke bawah.
“Jam sepuluh sampai rumah.” Teriak mama dari atas.
“Sip. Assalamu’alaikum.”
Nggak ada yang berubah dari tampilan Reval sih, kemeja warna hitam yang lengannya digulung sampai siku plus celana jeans warna hitam. Dress code dia biasanya. Untung gue nggak salah kostum pakai kaos oblong sama celana belel.
“Sudah siap? Mama kamu mana?”
“Di dalem ngurusin adek-adek. Langsung berangkat aja katanya.” Hampir lidah gue keserimpet. Sorry mom, bohong dikit aja.
“Ya sudah yuk.”
Ah, gue lupa kadonya. “Tunggu. Aku punya kado nih. Sorry ya Cuma bisa ngasih itu, habisnya mepet.” Kotak kado kecil warna coklat sukses mendarat di tangan Reval.
“Nggak pa-pa.” Selembar dasi warna merah tua yang baru gue beli tadi sore. Selembar warna merah buat Reval dan selembar warna hitam buat Mikah. Nggak tahu juga kenapa gue mesti beli buat Mikah juga. Hanya saja, pas lihat dasi warna hitam yang modelnya slim gitu langsung keinget sama Mikah.
“Bagaimana?”
Reval sudah tersenyum sambil pamer dasi yang sudah terpasang di kerah bajunya. Bahkan gue nggak sadar kapan dia pakai. Duh, gue kalau ngelamun dan sibuk sama pikiran sendiri suka nggak sadar sama dunia nyata. Perlu ke psikiater kayaknya gue.

KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
RomanceCerita iseng yang dibuat tanpa konsep. Cerita general yang mungkin lazim dialami oleh banyak orang. But overall, it's totally fiction. [lil Speech] Setelah menemukan alur yang semula kabur, kasar, dan terbelah. Mencoba memberi sisi lain dari cerita...