Deserve

1.4K 90 0
                                    

Deserve

Cuaca hari ini sedikit mendung. Gue pengen ketawa sendiri tiba-tiba perhatian sama cuaca. Kenapa gue jadi melankolis begini sih?

Sapu tangan berisi beberapa bongkahan kecil es batu membuat pipi gue sedikit nyaman. Seenggaknya nggak sesakit tadi. thanks to Bintang yang nggak terlalu banyak nanya dan cuma duduk diam di samping gue. Kita berdua lagi ada di taman nggak jauh dari Lotus setelah Bintang membeli sapu tangan lengkap dengan es batu di dalamnya karena gue nggak mau diajakin ke rumah sakit.

“Oh iya, sebenarnya tadi gue pengen balikin hape lo yang ketinggalan di warung mie ayam.” Bintang menyodorkan ponsel warna putih ke gue.

“Thanks.”

“Hmm.”

Tiba-tiba keinget Mikah, biasanya hal tersial apapun yang gue alami pasti Mikah yang bakal duduk di sebelah gue, bukannya malah Bintang atau siapapun.

“Ody…” Gue noleh kea rah Bintang yang sudah lebih dulu lihat ke arah gue. “Gue boleh nanya soal tadi?”

“Sorry.” Bintang ngangguk sambil senyum kecil. Gue jadi ngerasa bersalah sama dia tapi gue memang belum mau atau bahkan nggak akan pernah mau cerita tentang hal ini sama dia atau siapapun.

“It’s okay. Tapi, sebenarnya tadi gue denger percakapan lo sama… sorry, bukannya bermaksud tapi…”

Gue lebih milih kalau seumpamanya Bintang bohong dan bilang dia nggak tahu apa-apa daripada kasih tahu gue kalau dia bahkan sudah tahu.

“Dah terlanjur juga. Tapi, please… gue mohon lo…”

Bintang lagi-lagi senyum, kali ini lebih lebar. “Gue tahu, lidah gue nggak petakilan kok. Tapi kalau sampai gue tahu hal kayak tadi keulang lagi, gue nggak janji buat tutup mulut lagi.”

“Gue tahu. Makasih ya.”

“Santai aja. Kayaknya gue tuh superhero Indonesia deh. Lihat, muka gue aja nggak kalah ganteng sama Andrew Garfield, kan? Malah lebih gantengan gue.”

Gue nggak bisa buat nggak ketawa. “Asal yang dibandingin bukan Taylor Lautner gue iyain aja deh.”

“Si werewolf itu? Kalau gue niat nge-gym pasti badan gue lebih bagus daripada dia. Apalagi tinggian gue.”

Nih orang kesambet setan narsis kali yah. “Terserah kata lo deh, kak.”

“Udah deh, lo nggak usah deny gitu. Akuin aja kalau gue emang cakep.”

Tanpa dipaksapun gue nggak nyangkal kalau lu cakep, tapi nggak mungkin juga gue ngomong langsung di depan muka lo.

Sapu tangan basah kuyup karenaes batu semuanya sudah mencair. Bahkan air yang gue peres keluar lumayan banyak.

“Gue anter pulang ya?”

Melirik layar ponsel, mau jam tiga sore. Lumayan lama jug ague duduk berdua sama Bintang di sini.

“Gue balik sendiri aja ya, kak.” Bintang ngelihatin gue cukup lama sampai sukses buat gue tengsin sendiri.

“Gue bisa nggaktidur semaleman kalau biarin lo pulang sendiri. Jadi, mending sekarang gue anterin lo pulang. Nggak usah pake acara nolak segala. Lo nggak ngerepotin gue. Oke?”

Lihat punggung Bintang tepat di depan gue dalam jarak sedekat ini. Mungkin dulu gue bakal bertingkah absurd,nggakjelas yang berakhir mempermalukan diri sendiri. Tapi hal yang gue rasa sekarang ini lebih ke perasaan aman dan nyaman.

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang