2. Selembar Kain dan Syuting Iklan

3.5K 260 25
                                    

“Assalamualaikum, Flo? Apa kabar?”

Justin Trudeau? Bukan. Aku ingat sesuatu sekarang. Dia …!

“Hamster?” tanyaku tak percaya. Zul bengong dalam sepersekian detik sebelum akhirnya menginjak kakiku dengan stiletto runcingnya.

Mengucek mata beberapa kali. Berharap sedang berada di gedung Parlemen Centre Blok, Ottawa, Kanada untuk menemui PM Justin Trudeau. Sebagai apa? Mungkin sebagai Duta Orang Utan untuk melindungi hewan yang mulai terancam punah di Indonesia.

“Masa orang ganteng dibilang Hamster?” Zul berbisik. Tersenyum kaku kepada lelaki yang juga sedang tersenyum kecil memerhatikan kami. Haqul yakin dia pasti mendengar bisikan Zul.

“Maaf. Maksudku … Hamster … eh Ha … mish.” Terbata mulut ini mengucap nama itu lagi. “Apa kabar?”

Refleks aku mengulurkan tangan. Begitu juga dengan Zul. “Halo, Mas. Kenalin saya manajernya Flory. Zulaikha. Biasa dipanggil Zul.”

Hamish mengangguk kecil, menangkup kedua tangan di dada. Aku dan Zul saling pandang. Tangan kami mengambang di udara. Oke! Mungkin dia memang Hamish dan bukan Mr. PM. Sebab Justin Trudeau masih mau bersalaman dengan Aung San Suu Kyi dan Kate Middleton.

Mas Danuar tampil sebagai penyelamat dari situasi yang mulai kaku. Sekaligus menyadarkan aku untuk bersikap lebih sopan kepada orang yang akan menjadi sumber penghasilan. Dia segera mengajak pria itu ke ruangannya. “Kami tinggal dulu, Mba. Ada yang harus dibicarakan.”

Zul segera menarikku ke toilet. Memperlihatkan rasa penasarannya yang sudah memasuki level akut.

“Elo kenal si Justin? Maksudku … siapa tadi namanya?” Kami berbicara di depan wastafel putih dengan deretan dua kaca yang besar. Zul mulai mirip lambe turah.

“Hamish.” Jelas Zul tak puas hanya dengan mendengar nama aslinya. Kedua alisnya terangkat.

“Lalu kenapa tadi lo bilang dia Hamster?” selidiknya lagi.

Beberapa perempuan bergerombol memasuki toilet. Membuat ruangan terasa sempit. Entah kenapa perempuan seperti tidak bisa lepas dari kaca dan toilet. Mungkin karena perempuan selalu ingin terlihat cantik, dan kebelet pipis adalah ekspresi terjelek yang harus disembunyikan dari para lelaki. Beberapa mulai memerhatikan kami yang lebih terlihat sebagai dua orang teman yang sedang bertengkar.

“Nanti gue cerita kalau sudah di rumah.”

Zul mengikutiku ke luar dari toilet dengan muka tidak puas. Aku kembali ke tempat semula untuk mempelajari naskah skenario iklan, sedangkan Zul memilih berkumpul dengan beberapa manajer artis lainnya yang ada di gedung itu.

Aku termangu sejenak. Lembaran kertas yang kupegang seakan berubah menjadi layar datar televisi. Memutar kembali kenangan beberapa tahun silam saat masih menggunakan seragam putih abu.

“Eh, Hamster kamu telat lagi?” Cowok kurus dengan rambut sedikit berantakan itu kembali berlari bersamaku menuju gerbang sekolah.

“Anggap saja ini olah raga pagi, Flo. Run!” teriaknya. Kaki panjangnya secepat kilat menuju gerbang yang sudah ditutup rapat satpam sekolah kami.

Aku menyusulnya dengan napas ngos-ngosan. Hamish selalu menang mendahuluiku. Setelah itu, satu jam pelajaran sering kami lewatkan untuk menjalankan hukuman.

Dulu saat kelas satu, tak pernah satu hari pun aku telat pergi sekolah. Namun, semua berubah setahun berikutnya. Setelah Ayah meninggal, Flory Amarilis menjadi urutan teratas siswa yang sering telat masuk kelas.

Bagaimana tidak telat? Setiap hari aku harus membantu Ibu di pasar berjualan sayuran. Dini hari aku bersama Ibu menggelar dagangan. Menjelang jam sekolah, barulah aku beranjak  pulang.

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang