19. Kejutan

2.3K 226 47
                                    

Hamish menyajikan secangkir cokelat hangat di dekat laptop yang masih menyala. Dia mengintip sebentar apa yang sedang kukerjakan sebelum akhirnya melipat layar itu dengan sekali sentuhan tangan.

"Tidurlah, Flo. Ini sudah sangat malam." Hamish tak memedulikan mataku yang membulat karena kaget bercampur kesal. Pekerjaan yang kuketik belum disimpan.

"Itu ... aduh, Mas! Kenapa main tutup aja?" protesku sambil meliriknya sekilas lalu beralih kembali menyalakan laptop. "Baru pukul sebelas. Sebentar lagi."

Aku bernapas lega melihat hasil ketikan susah payah tadi tidak hilang sama sekali. Sejak didaulat menjadi pembicara tempo hari, kuputuskan untuk mengejar ketertinggalan ilmu dengan kuliah lagi. Aku harus menjadi lebih baik. Kuliahku sempat terputus karena biaya. Saat ada uang berlimpah, malah sibuk menjadi artis. Menyesal rasanya bila mengingat masa-masa itu tak bisa kembali. Kepalaku butuh asupan ilmu. Sangat penting untuk memperpendek jarak tingkat pendidikanku dengan Hamish. Aku ingin menjadi teman bicara yang nyambung sekaligus tidak memalukan untuk ia sebut di depan keluarga dan lingkaran sosialnya.

Hamish masih bergeming dengan mendudukkan pinggulnya di meja dekat laptop. Terdiam cukup lama, memandangku cemberut. Apa dia sedang marah? Jari-jariku berhenti sebentar untuk memberinya segaris senyum, "Kalau Mas ngantuk, tidur duluan saja. Nanti sebentar lagi juga selesai kok."

Tak ada jawaban. Pria yang paling kucintai itu menuju ranjang besar kami dan meringkuk di sebelah Zaidan yang sejak tadi lebih dulu tertidur pulas. Saat Hamish menjauh, semerbak parfum lembutnya juga meninggalkanku dalam kesendirian. Kualihkan pikiran sebentar dari tugas makalah. Apa aku yang sedang tidak terlalu peka dengan keinginan Hamish? Akhir-akhir ini, aku sibuk mengisi beberapa acara dan berjibaku dengan tugas-tugas kuliah. Kami bertemu setiap malam dengan keadaan sama-sama lelah. Perhatianku lebih banyak tercurah kepada Zaidan. Seketika hatiku diselimuti rasa bersalah.

Kutinggalkan laptop yang masih menyala untuk menghampiri Hamish. Mata laki-laki itu sudah terpejam. Aku berbaring menyamping untuk memeluk punggungnya.

"Maafkan aku, Mas," bisikku lembut agar tak membangunkan tidurnya. Aku tahu Hamish selalu bekerja keras setiap harinya. Terkadang berhari-hari dia pergi untuk kepentingan bisnisnya. Detik demi detik yang kami miliki berjalan teramat singkat. Hamish punya dunianya sendiri selain aku dan Zaidan.

Kurasakan kedua tangan yang ditarik kuat. "Mas belum tidur?"

"Bagaimana aku bisa tidur nyenyak setelah berhari-hari kamu cuekin aku?" Hamish terdengar merajuk. Kurasa dia sedang membuatku merasa bersalah.

"Jadi ... apa sekarang Mas ingin ... hmm ...." Kepalaku masih berputar mencari kata yang tepat.

"Tidak. Aku tahu kamu lelah." Hamish berbalik menatap wajahku yang serupa kepiting rebus.

"Aku tak mau malaikat marah semalaman."

"Sudah tidur saja. Suami yang baik juga harus memahami kondisi istrinya." Hamish mengacak rambutku. "Atau sekarang justru kamu yang ingin aku peluk?" Dia menyeringai nakal. Kututupi muka Hamish dengan bantal. Dia langsung memeluk bantal itu dan berkata lagi sebelum memejamkan mata, "Besok saja dandan yang cantik. Aku malas mandi sebelum Subuh."

Mata tak lagi bisa diajak kompromi. Hanya beberapa menit, wajah Hamish sudah mengabur dalam pandangan. Sampai akhirnya pagi datang lebih cepat dari yang kuharapkan. Aku berdandan rapi selepas Subuh sesuai permintaan Hamish, tapi dia sendiri malah tak kunjung datang dari berjamaah shalat Subuh di masjid.

Akhirnya aku memilih mengganti kostum dan membantu Mbak Yanti memasak di dapur. Tak mungkin aku memakai minidress di depan Mbak Yanti. Bisa heran dia! Hamish datang langsung sarapan melihat makanan tersedia di meja. Dia bilang diajak imam masjid menengok salah satu jamaah yang sakit. Hamish terburu-buru sekali. Mandi dan berpakaian pun dilakukan dengan waktu singkat.

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang