3. AJakan Will

2.9K 238 7
                                    

Bisakah laki-laki dan perempuan bersahabat dekat tanpa ada cinta yang terlibat? Sebatas relasi platonik. Berteman dekat karena perasaan nyaman tanpa harus melibatkan perasaan. Lama mencari tahu, sampai akhirnya aku mendapat jawabannya ketika sudah menjadi tak penting lagi.

Aku pernah begitu dekat dengan Hamish. Berawal dari hari-hari terlambat sekolah yang kami lewati setiap pagi. Lalu, seusai jam sekolah untuk menjalankan sanksi. Hukuman yang membosankan menjadi sangat menyenangkan. Menyapu lapangan basket, membersihkan toilet, hingga membereskan lab dan barang-barang bekas di gudang sekolah.

“Aku selalu berharap menemukan lemari ajaib seperti di film Narnia. Atau mungkin lubang besar seperti Alice menemukan Wonderland,” kataku kepada Hamish saat membersihkan sarang laba-laba yang sudah menghitam di langit-langit gudang.

“Termasuk menemukan peron 9 ¾ yang menjadi gerbang Harry Potter memasuki Hogwarts?” Hamish menurunkan sapu panjangnya. Kedua alisnya terangkat.

“Kenapa? Ingin bertemu makhluk-makhluk aneh? Sama kecoa aja takut.” Hamish menyeringai.

“Hanya ingin berpetualang. Aku bosan hidup seperti ini terus.” Menatapnya dengan senyum samar.

Dia tahu aku takut dengan makhluk berwarna cokelat kehitaman nan menjijikkan itu. Aku tak pernah tahu alasan pasti kenapa Tuhan menciptakan hewan yang bahkan aku malas menyebut namanya. Selain agar manusia punya alasan untuk bersih-bersih dan akhirnya berpikir untuk memproduksi racun pembasmi kecoa.

“Memangnya kamu tidak ingin? Bukankah katamu sekolah membosankan?”  Balas menatap. Menantangnya.

“Aku lebih suka bertemu laba-laba berradioaktif yang telah menggigit Peter Parker dan mengubahnya menjadi Spiderman!”

Satu kecil laba-laba jatuh beserta sarangnya. Hamish membiarkan makhluk itu pergi menyelamatkan diri dari sapu panjang yang ia pegang.

“Laba-laba itu makhluk unik, Flo. Mereka hanya punya satu kesempatan untuk jatuh cinta. Cinta bagi mereka sama dengan keputusan untuk bunuh diri. Ketika memutuskan pilihan untuk kawin, maka sang jantan telah siap dengan risiko mati di tangan betinanya. Demikian juga dengan si betina. Ketika dia hamil dan melahirkan keturunan, maka ia rela mati menjadi makanan untuk anak-anaknya.”

Rajin sekolah jika ingin pandai, dan Hamish adalah kekecualian. Aku memandangnya heran. Dia selalu tahu banyak hal.

Hening sekejap. Membayangkan rantai kanibalisme laba-laba. Bagaimana bisa mereka dengan tega memakan pasangannya? Apa karena sebenarnya mereka kawin paksa?

“Mengerikan!”

“Itulah cinta bagi mereka, Flo. Pengorbanan.”

Aku mengendikkan bahu. Kembali membereskan kertas-kertas bekas sambil berharap menemukan tiket ajaib ke Neverland.

Hamish jongkok mengambil tempat di depanku. Menatap lurus dan berkata, “Kamu suka berpetualang, Flo?”

Aku tersenyum dan mengangguk pasti.

“Kalau begitu ayo kita berpetualang!”

Hamish tak main-main dengan ucapannya. Kami merencanakan banyak perjalanan. Melihat dunia luar yang tak bisa diraba hanya dengan duduk di bangku sekolah.

Ribuan langkah telah kulewati bersama lelaki itu. Dari mulai mengagumi keindahan matahari terbit dari puncak gunung, hingga menikmati senja yang temaram di lepas pantai. Berlarian di pematang sawah. Menyebrangi sungai. Mengunjungi suku pedalaman, daerah bencana, bermalam di panti asuhan, hingga bernyanyi di jalanan.

Hamish selalu punya cara untuk mewujudkan keinginannya. Dia punya banyak uang dan juga koneksi. Dini hari ia akan datang memborong semua dagangan Ibu agar mengizinkan aku pergi bersamanya. Lalu, dengan riang kami bagikan sayur-sayur itu di pinggir jalan.

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang