16. Ibu yang akhirnya tahu

2.4K 265 14
                                    

Kami sudah bersiap untuk pergi saat matahari mulai menghapus kabut tebal di atas bukit. Bi Nani dan beberapa tetangga melepas kepergianku dengan air mata. Mereka sudah seperti keluarga, bukan lagi hanya sebatas tetangga.

Mobil Hamish bergerak pelan. Meninggalkan kampung kecil di pesisir pantai yang selamanya akan kuingat sebagai tempat melewati masa-masa sulit sekaligus tempat bersatunya kembali dengan lelaki yang kucintai.

Malam tampak pekat saat mobil memasuki perkampungan tempatku menghabiskan masa kecil. Hawa dingin pegunungan dan bau pohon pinus kembali kurasakan. Jantung seakan melompat saat rumah ibuku terlihat semakin dekat.

Perempuan yang amat kucintai itu sudah menunggu di teras. Aku menghambur ke pelukannya dengan air mata yang menderas. Tubuh Ibu lebih kurus daripada saat kutinggalkan dahulu.

Tak mau larut dalam tangis, Ibu mengajak masuk dan menyuruh kami istirahat sebentar. Sup dan wedang jahe hangat disuguhkan Ibu saat kami kembali. Tidak hanya menghangatkan perut, tetapi juga hatiku.

"Ibu bersyukur akhirnya bisa bertemu kalian lagi. Walaupun Ibu tidak tahu apa yang terjadi, kedatangan Flory sudah cukup membahagiakan Ibu."

Lagi-lagi Ibu membuatku merasa bersalah sekaligus sedih. Aku menahan diri untuk tidak mengatakan permasalahan yang dulu kuhadapi.

"Biar nanti aku yang mengatakannya pada Ibu. Aku hanya butuh waktu yang tepat. Mas jangan cemas. InsyaAllah semua akan baik-baik saja," kataku kepada Hamish sebelum tidur. Aku tahu Hamish sangat mengkhawatirkan reaksi Ibu jika tahu masalah yang sebenarnya.

"Terima kasih, Flory Sayang. Apa pun yang terjadi, kuharap tak akan ada lagi kejadian yang membuat kita terpisah."

Hamish mencium keningku singkat sebelum akhirnya jatuh tertidur. Malam sudah terlalu larut. Suara kodok dan jangkrik terdengar nyaring. Aku pun tertidur di samping Hamish. Sampai akhirnya pagi kembali datang. Matahari kembali menyembunyikan bintang-bintang yang memucat di ufuk langit.

Ibu sangat gembira mendengar berita kehamilanku. Ia ingin sekali menimang cucu. Hidupnya sudah terlalu sepi sejak kutinggalkan merantau dahulu. Menjelang siang, sengaja kuminta Hamish meninggalkan rumah sebentar agar aku bisa mempunyai waktu berdua saja dengan Ibu. Dengan alasan mencari udara segar dan mencari sinyal untuk kepentingan bisnisnya, Hamish sejak tadi sudah pergi dengan mobilnya.

Ibu membawa kue sagon buatannya untuk kucicipi. Kedua alisnya terangkat senang saat aku memakannya lebih dari lima buah hanya dalam beberapa menit.

"Dulu Ayahmu juga senang makan kue ini. Dia bisa menghabiskan satu toples hanya dalam waktu dua jam." Mata Ibu menerawang. Senyum tipis tersungging mengingat kenangannya bersama Ayah.

Ini mungkin waktu yang tepat untuk membicarakan penyebab kematian Ayah. Aku harus mengatakannya. Ibu berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Apa Ibu sudah memaafkan orang yang menabrak Ayah?" Kupandangi wajah tuanya yang mulai keriput.

"Apa yang bisa Ibu lakukan lagi? Memaafkan atau tidak, tak akan membuat Ayahmu hidup lagi. Ibu harus menerima ini bagian dari takdir. Sesuatu yang sudah digoreskan sebagai guratan nasib." Ibu menghela napas panjang. Tangannya memegang erat nampan yang sejak tadi ada di pangkuannya.

"Apa Ibu juga akan memaafkan anak dari orang yang telah menabrak Ayah?" Aku bertanya lagi. Ibu menatap heran.

"Anaknya dan juga seluruh keluarganya tak ada hubungannya."

Aku bernapas lega. Jawaban Ibu adalah awal yang baik. Aku bergeser duduk lebih dekat.

"Ada yang belum Ibu ketahui tentang fakta kematian Ayah. Kenyataan yang sempat membuatku lari dari Hamish." Aku berkata nyaris pelan. "Yang menabrak Ayah adalah ayah Hamish. Pria yang dulu mengaku menabrak Ayah adalah supirnya."

Untuk Sebuah Nama (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang