Bagaikan pungguk merindukan bulan, begitulah kehidupan yang aku jalani. Tantangan, kesulitan dan kesedihan, semuanya begitu sulit untuk mencapai titik kebahagiaan.
Diibaratkan kebahagiaan itu adalah rembulan dan aku hanyalah seekor pungguk saja, meskipun aku bisa terbang, namun tetap saja, aku tak mampu bisa terbang mencapai bulan.
Malam ini aku biarkan air mataku menetes, membasahi kedua pipi pucatku. Tidak tidur dan tidak makan, seandainya mati pun itu lebih baik. Mati kelaparan, cara yang tak terlalu menyakitkan untuk mati. Mungkin.
Rasanya kini ... hidupku tiada guna lagi, tak ada seorang pun yang peduli. Hidup sebatang kara menjalani kehidupan, sangat tidak gampang aku lakukan.
Keluarga, sahabat dan kekasih, bagiku semua itu layaknya barang mahal. Ada, tetapi bukan milikku dan aku belum mampu membelinya.
Sebelah telingaku sedikit berdengung, bisikkan itu kembali aku dengar lagi.
"Mati saja ... setelah kau mati kau tak akan kesakitan. Kau akan berreinkarnasi kembali menjadi manusia yang kau inginkan. Kau akan hidup bahagia di sana."
"Apakah benar aku harus mati? Apa disana masih ada rembulan? Apakah setelah mati hanya akan ada keindahan?"
Ragu, meskipun keinginan untuk mati ada di pikiranku, sejujurnya aku masih ragu dengan tempat yang aku tuju. Kematian itu masih misteri, kenyataannya tak ada yang pernah kembali setelah mati.
Kepalaku pusing setelah berucap, di tambah lagi mataku mendadak silau.
Cahaya bulan malam ini, entah kenapa begitu menyilaukan. Aku semakin terfokus dengan sinar bulan yang sesdkit ganjil malam ini.
Ada bayangan putih yang melayang dari arah bulan, seperti selendang putih yang membentuk sayap dan semakin mendekat, semakin terlihat jelas dan semakin seperti mimpi.
"Apakah aku terlalu berhalusinasi?"
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sesosok pria berdiri di depanku tersenyum manis, wajahnya bersinar layaknya bulan. Dia lembut, tampan dan mengagumkan.
Kulitnya bersinar seperti bulan, tatapan matanya menenangkan seperti bulan, dan bibirnya tebal begitu mempesonakan.
Pria itu mendarat di bumi dengan tiba-tiba, tepatnya kini berdiri di depanku. Dengan mengunakan baju serba putih berhiaskan selendang yang berwarna putih juga.
"Kau makhluk apa, kau siapa?" Aku menyempatkan bertanya diantara kegugupanku. Menarik kakiku untuk mundur beberapa langkah dari sosok asing di depanku.