Diskursus peran dan kiprah kaum intelektual dalam politik di Negara ini sungguh sangat menarik. Sejarah mencatat bahwa tumbangnya rezim orde baru tidak dapat dipisahkan dari peran aktif elemen kampus yang merupakan basis kaum intelektual. Franz Magnis Suseno pernah menyatakan bahwa kaum intelektual Negara kita memiliki kedudukan istimewa dibanding negara-negara lain, termasuk kiprahnya dalam pentas politik.
Hadirnya era reformasi ini dan semakin kuatnya sistem demokrasi yang di anut oleh Negara kita telah memberikan ruang gerak yang amat luas bagi kaum intelektual, untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan, baik lokal, regional, nasional, bahkan pentas internasional. Di samping juga, kondisi buruk yang terus mewarnai kehidupan bangsa dan Negara Indonesia juga menajdi motivasi kuat bagi mereka untuk turun langsung dan masuk dalam sistem yang ada.
Sebagai gambaran konkrit, kiranya masih lekat dalam ingatan kita fenomina pemilihan Cagub dn Cawagub pada tahun 2013 kemaren. Menariknya, dalam pilgub tersebut diramaikan oleh maraknya kaum intelektual di balik cagub-cawagub. Sebagian mereka ada yang secara terang-terangan mendukung cagub tertentu, tapi ada pula yang 'malu-malu kucing'. Mereka juga turut menghiasi media massa dengan berbagai tulisan, analisis, ulasan politik, dan semacamnya.
Perseturuan kaum intelektual dengan politik sebagaimana fenomena tahun 2013 berulang pada tahun ini. Ajang pilgub yang tinggal beberapa bulan lagi turut menyajikan realitas betapa dinamisnya kaum intelektual negeri ini. Banyak intelektual yang selama ini berkarya—dengan predikat sebagai pengamat, penulis dan advocator misalnya—ternyata memutuskan untuk memperkuat kubu salah satu kandidat Cagub cawagub yang akan berkompetisi juni 2018 mendatang.
Sudah jelas bahwa kaum intelektual memiliki andil besar dalam ranah perpolitikan Negara ini. Persoalannya kemudian, apakah para intelektual tersebut nantinya akan bisa mengemban misi intelektualnya yang adiluhung yaitu penyelamatan manusia (the salvation of man)?, atau justeru sebaliknya seperti yang disinyalir oleh Daniel Dhakide, bahwa para masa pemerintahan orde baru kaum intelektual sebagian menjadi ‘alat produksi’ kebenaran yang berfungsi melestarikan dan melanggengkan kekuasaan sang rezim?.
Pertanyaan demikian patut dikedepankan mengingat bahwa ketika kaum intelektual ikut berpartisipasi dalam politik praktis akan terjadi pertarungan idealisme, idealisme intelektualitas dan idealisme politik. Sebagai intelektual, idealnya mereka lebih mengedepankan proses transformasi ilmu untuk mengubah kondisi sosial, budaya, politik, maupun pemerintahan, di samping juga sikap otonom dan independen harus melekat dalam diri mereka. Sedangkan dalam kapasitasnya sebagai politisi, mereka akan lebih terikat, tidak otonom, dan tidak independen serta secara ‘terpaksa’ mereka harus tunduk pada sistem dan faham poltik yang dianutnya. Intelektualitas yang mereka miliki akan mendapat ruang sempit, bahkan ketika bersinggungan dengan sistem atau struktur politiknya maka ada social effect dan political effect yang harus ditanggung.
Dengan demikian, kita hanya bisa berharap bagaimana para intelektual yang sudah terjun langsung ke dalam politik praktis agar bisa menyikapi dirinya sendiri secara arif dan bijak. Benih-benih intelektualitas yang mereka miliki tidak pupus ketika mereka telah berhadapan langsung dengan dinamika politik yang saat ini dipandang cenderung kotor, profan dan manipulatif. Akan tetapi bagaimana kehadiran mereka dalam ranah politik dapat menggulirkan ide-ide reformasi di setiap lini kehidupan, yang benar katakana benar dan yang salah dikatakan salah. Dalam hal ini, Edward W. Said melansir posisi intelektual adalah sebagai penyampai bahasa atau suara masyarakat kepada pemerintah walaupun pahit, pedas dan beresiko tinggi. Michel Foucault lewat karyanya power of knowledge juga menyatakan bahwa, "intelektual yang politis adalah orang-orang yang dapat memanfaatkan pengetahuan, kompetensi, dan relasinya dengan kebenaran dalam lapangan perjuangan politis."
Bukan justru sebaliknya, mereka tenggelam dan menjadi kaki tangan politik atau budak-budak kekuasaan (servants of power) rezim tertentu, sehingga mereka termasuk kategori intelektual sebagaimana yang dinyatakan oleh julian benda yang disebut dengan La Trahison des Clercs, yaitu renungan tentang penghianatan kaum intelektual. Artinya, kaum intelektual yang masuk dalam sistem politik dan akhirnya tunduk dan tidak otonom diklaim sebagai intlektual yang berhianat pada jati dirinya sendiri. Benda memandang secara ideal normatif bahwa tanggung jawab intelektual adalah pekerja mental. Mereka tidak harus terlibat dalam kerja-kerja praksis yang cenderung materialistik.
Sebagai penegasan akhir, Antonio Gramsci dalam The Prison Notebooks menyatakan: "all men are intellectuals, but not all men in society the function of intellectuals." Dari itu, fungsi intelektualitas sebagai sesuatu yang istimewa harus dapat difungsikan pada tempat yang semestinya, baik dalam ranah politik, sosial, budaya, dan agama. Klimaksnya, bagaimana dengan intelektual kita yang aktif di panggung politik?, sepertinya masih perlu didiskusikan lebih lanjut.
Surabaya, 28 September 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Opini Pagi
RandomHanya pendapat pribadi, siapa saja bebas beropini asal jangan rusuh dan gaduh hingga bikin suasana keruh. siapapun bebas berekspresi baik secara lisan atau tulisan asal jangan punya niatan bikin orang lain malu dan sakit hati karena Hujatan! begitul...