Urgensi Apresiasi

29 2 1
                                    

Tadi pagi sekitar jam 08.30 aku mampir ke warung sekedar membeli kopi, bukan menikmati Wi-Fi sebagaimana kebanyakan yang dilakukan para pemuda dan pemudi. Namun aku tertegun dan berhenti sejenak melihat koran yang masih tertata rapi, pertanda belum ada para pengunjung yang menjamahnya sama sekali. Mereka lebih asyik bersama Gadget ditangan daripada hanya sekedar membaca berita di koran. Bagiku, Apa salahnya meluangkan waktu barang lima sampai sepuluh menit saja untuk melihat kabar dan berita? Bukankah itu lebih baik sebagai bentuk apresiasi kepada para jurnalis yang sudah susah payah turun kelapangan hanya untuk menulis? Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan para kuli tinta itu setelah mengetahui hasil jerih payahnya kurang mendapat apresiasi dari para pembaca. Ya, semoga saja anggapanku ini hanyalah asumsi yang jauh dari kebenaran sesungguhnya.

Aku teringat beberapa tahun yang lalu ketika dosenku bercerita bahwasanya: ketika ia pulang ke kampung halamannya, ia selalu menyiapkan uang lembar seribuan sampai sepuluh ribuan, tak lupa juga ia selalu membawa sebungkus permen. Buat apa gerangan dengan apa yang ia persiapkan? Tanyaku dalam hati. Dosen itu kemudian menjelaskan kalau dikampung halamannya banyak berseliweran anak kecil bermain kesana-kemari kemari, untuk mencari dan mencuri sedikit perhatian  mereka, si dosen akan mengajukan beberapa soal dan pertanyaan. Bagi yang bisa menjawab akan diberikan hadiah. nah, sejumlah uang dan permen itulah yang akan diberikan sebagai reward kepada mereka, tak peduli jawabannya benar atau salah. Salah pun akan mendapatkan bagian juga.

Mungkin hadiah itu tidak seberapa nilainya, namun ekspresi senang dan girang dari anak – anak itulah yang menjadi kebahagiaan tersendiri bagi si pemberi. Memang kebahagian tak bisa diukur dengan seberapa banyaknya materi yang dimiliki. Tapi terkadang kebahagian bisa didapat dengan cara bagaimana kita berbagi dan memberi. Bukankah hal itu adalah bentuk kecil dari sebuah apresiasi? Sebagaimana penuturan Iqbal Madani, “Apresiasi merupakan  sebuah bentuk penghargaan kita terhadap siapapun dan mengenai apapun atas apa yang dilakukannya, lebih – lebih hal itu bersifat positif dan bisa mendatangkan kebaikan.”

Aku memutuskan untuk tidak beranjak pergi karena ada berita hari ini yang ingin aku ketahui. Ku bolak balik halaman demi halaman, semua nampak sama seperti hari – hari sebelumnya. terlihat berita poltik yang semakin menggelitik, berita birokrasi yang banyak terakumulasi kasus korupsi, berita pasar ekonomi yang siklusnya semakin tak pasti, berita olah raga yang hanya didominasi kabar sepak pola saja, berita manca Negara mengenai kebijakan presiden amerika yang hanya membuat hati merasa kesal, marah dan kecewa. Namun, yang paling membuat miris dan cukup sadis adalah berita tentang pendidikan, terlihat judul terpampang tebal bertuliskan, “Dipukul Murid, Guru Meninggal di Rumah Sakit”. Kejam benar itu murid! Siapapun yang membaca pasti akan membuat hatinya sakit. Murid macam apa yang tega dengan sengaja merenggut nyawa gurunya.

Tak pernah terkira, siapapun tak akan menduga, bahwa kamis kemarin, 1 februari 2018 adalah hari terakhir Ahmad Budi Cahyono menghembuskan nafasnya. Pak Budi, begitulah masyarakat menyebutnya. kamis lalu menjadi hari terakhir mengajarnya. Meninggalkan anak – anak didiknya untuk seterusnya, mendahului sanak keluarganya untuk selama-lamanya. Guru honorer SMA Negeri 1 Torjun, Sampang itu pergi meninggalkan tangis dan nestapa di tanah sampang, Madura. Apa penyebabnya? Dari berbagai media massa dikatakan bahwa semua dimulai karena ulah muridnya. Entah siapa namanya. Murid yang tak mau diatur dan suka seenaknya. demikian penuturan teman-temannya. Itulah jika akal sehat sudah tak lagi menjadi tumpuan, sampai guru sendiri pun berani diterjang.

Belakangan sang murid yang diketahui memiliki seni bela diri pencak silat, namun tindakannya sungguh sangat tak terhormat. Ia berkhianat kepada ilmu yang dimiliki, keahlian yang seharusnya dipakai untuk mengayomi. Ketrampilan yang seharusnya digunakan untuk membela, malah dipakai untuk membuat gurunya terluka dan cedera. Sang guru dipukul dengan keras di bagian kepala setelah si murid tak mau diberi peringatan karena keras kepala. Tak hanya sampai disitu, pulang sekolah murid durhaka itu kembali menganiaya sang guru. Gurunya sendiri, sebagai pengganti orang tuanya dirumah, yang kini sudah tak lagi dihormati. Lalu dimana bentuk penghargaan kepada pahlawan tanpa tanda jasa jika sudah seperti ini ?

Sesampainya di rumah, guru budi mulai merasakan sakit di bagikan kepala. tak sadarkan diri, keluarga melarikannya ke UGD RS Sampang, namun  setibanya di sana pihak rumah sakit merujuknya agar dibawa ke RS Dr. Sutomo, Surabaya. Setelah sampai, para dokter melakukan penanganan segera, berbagai percobaan dan usaha, namun ternyata semua itu sia – sia. Sekitar pukul 21.40 guru budi  berpulang menghadap Sang Ilahi. Diagnosa dokter mengatakan pecah saluran saraf otak batang. tragedi guru budi, meninggalkan kisah pahit tersendiri bagi keluarganya, masyarakat dan khususnya bagi dunia pendidikan. Akhlak, moral dan pekerti generasi muda mudi  masih banyak yang tak terkontrol dan se-enaknya sendiri. Guru yang seharusnya dijadikan contoh dan panutan malah diinjak – injak kelewat batas dan aturan.   

Setelah kejadian itupun, banyak para ahli dan praktisi berkomentar dengan gagah dan bijaksana di berbagai media. Intinya agar para pendidik negeri ini menanamkan pendidikan berkarakter bagi para murid dalam segala aspeknya. Tidak hanya mendidik dan mencerdaskan aspek pengetahuan saja (pedagogis), akan tetapi aspek ketrampilan (profesional), kepribadian (spiritual), dan social (afektif) menjadi hal yang utama. Karena kecerdasan yang tidak dibarengi dengan akhlak dan kepribadian yang baik akan sia – sia. Namun, hal yang perlu diingat! Meski sudah dirawat dengan baik, siapa yang bisa menjamin seluruh buah yang ada di pohon bisa menghasilkan kualitas buah yang baik dan sempurna? Yaitu buah yang ranum, segar, matang dan manis?

Sudah sering hal semacam ini terjadi berulang kali, tidak hanya di satu tempat saja, tapi hampir di seluruh lini penjuru negeri. Minimnya apresiasi yang diberikan kepada seorang pendidik menjadikan guru seakan kurang bermutu, kurang dihargai. Bukan hanya di kalangan atas saja, pada tataran terendah pun harus sebisa mungkin untuk menghargainya. Siapapun harus bisa memberi dan juga mendapat penghargaan karena kebaikan dan jasanya. Utamanya seorang pendidik.

_________________________
Surabaya,  3 Januari 2019

Opini PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang