Part 18

2.2K 124 13
                                    

"Bagaimana aku bisa kembali percaya jika kamu kembali membuatku kecewa?"

GEALVAN

Gea mengerjap pelan, matanya terlalu perih untuk dibuka. Kenapa tugasnya menumpuk banyak seperti ini sih??

Dan bodohnya dia lupa. Padahal besok tuh harus dikumpul. Kalo tadi si Femi nggak koar koar di grup maka matilah Gea.

Gea meregangkan otot untuk yang kesekian kali. Tubuhnya terasa remuk. Dia terlalu banyak kegiatan. Kepalanya pusing sampai ingin copot rasanya.

Gadis yang kini memakai celana pendek diatas lutut dengan kaos oversize itu melangkah keluar. Gadis itu menuju taman belakang dan langsung duduk nyaman diatas ayunan kayu miliknya.

Gea mengangkat kakinya, menumpukan dagu di kedua lututnya. Gadis cantik itu memeluk dirinya sendiri.

Dia hanya dapat merasakan sepi, sunyi, dan hening serta dingin yang menemani dirinya.

Entah kenapa Gea sudah terbiasa dengan sendiri. Dia dapat menyibukkan diri dengan berbagai organisasi di sekolah. Dengan aktif kesana kemari. Namun sejujurnya dia hanya ingin menghindari sepi yang gemar singgah.

Gadis tujuh belas tahun itu benci dirumah dan merasakan sepi mencekam ini. Dia benci merasakan sendiri. Dia. Benci. Itu saja.

Sepi ini suka mengangkat kembali luka yang sudah dia sembunyikan dengan rapi. Dan dia benci kembali ingat dengan rasa sakit yang sekuat tenaga berusaha ia lupakan.

Rasa sakit ini seakan membunuhnya. Membunuh percayanya. Membuatnya sulit menaruh percaya pada orang lain.

Karena ia terlalu takut. Kembali dirundung dan dikucilkan serta tak dianggap oleh orang yang paling ia percaya. Rasanya sakit. Sangat.

Saat saat seperti inilah yang membuatnya kembali mengingat lukanya.

Mungkin tak nampak mata, tapi sedikit demi sedikit rasa percaya gadis itu ditelan oleh semua lukanya.

"Ma, Gea kangen." Gadis cantik berwajah babyface itu berujar serak.

"Kenapa dulu Mama gak ajak Gea." Monolognya sambil mengusap air matanya yang meleleh.

"Gea.. Gea gamau sendiri Ma." Gadis itu terisak pelan. Rasa sakit itu kembali.

Saat saat yang sempat ia lupakan itu kini tercetak jelas di kepalanya. Seperti kaset rusak yang terputar berulang kali.

Dan entah kenapa rasa sakitnya masih sama.

"Ma." Gea mendongak, melihat lurus ke arah bintang dilangit.

"Gea... Nggak pernah ngebunuh Mama. Gea-" Ucapannya tertahan begitu saja. Hatinya ngilu.

Suara suara itu terputar. Semua kesalahan dilimpahkan padanya. Padahal dia hanya anak kecil yang tak tau apapun.

Semua hinaan itu. Semua cacian. Semua tuduhan itu tak pernah benar benar hilang sekuat apapun Gea mencoba.

"Ma, Gea harus apa?" Nada putus asa tersirat jelas di ucapan Gea.

"Gea pengen nyusul Mama aja. Tapi nanti Papa gimana, Ma?" Air matanya semakin deras mengalir.

Gadis itu sampai menyembunyikan wajah ke lipatan tangannya. Bahunya bergetar hebat.

Gealvan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang