Part 26

1.5K 104 20
                                    

"Saya lelah saat ini. Bisakah kamu saya jadikan sandaran? Atau haruskah saya kembali ke rumah Tuhan."

Aradita Gealova

***

Warning : mengandung hal hal yang tidak boleh ditiru seperti selfharm dsb. Jika memang tidak berkenan tidak usah dibaca. Terimakasih

***

Gea masih bersimpuh ketika pria itu melempar sebuah kertas dengan kop sebuah rumah sakit ternama.

"Dulu saya masih bisa sedikit mentolerir kebencian saya sama kamu. Apalagi dengan kemiripan wajahmu dengan istri saya. Saya berusaha menekan kebencian saya. Tapi sekarang saya tau." Pria itu berbicara panjang. Tentu dengan kata kata sarkas yang tertancap dan melukai Gea sedemikian jauh.

"Awalnya saya tidak percaya dengan kata saudara saya. Tapi akhirnya saya melakukan tes dna. Dan kini saya tau, kenapa saya tidak bisa menekan kebencian saya. Karena saya sadar. Saya tidak punya ikatan batin antara ayah dan anak dengan kamu." Kata kata itu membuat air mata Gea jatuh semakin deras.

"Saya mau mencoba memaafkan hal yang lalu, saya mencoba merasionalkan isi kepala saya. Bahwa anak kecil berusia tujuh tahun tidak mungkin bisa menghabisi ibunya." Jery masih berdiri ditempatnya dengan kaku.

"Tapi setelah tau hal ini, saya merasa dibohongi. Haha, bagaimana bisa istri saya punya anak dari orang lain." Kata kata itu masih terucap dengan intonasi sinis yang membuat Gea semakin depresi.

"Dan kamu! Bukti kesalahan itu. Kamu berulang kali mengingatkan saya pada sosok istri saya. Yang menghianati saya. Eksistensi kamu benar benar membuat saya muak!" Intonasi Jery naik satu oktaf. Sementara Gea semakin terisak. Gadis itu sudah kehilangan kekuatan.

Jadi alasan kenapa semua orang di keluarga besarnya menampakkan ketidaksukaan padanya karena hal ini. Karena dia bukan cucu kandung mereka. Dia hanya anak haram yang bahkan ayahnya tidak diketahui.

"Kalau bisa, saya ingin melenyapkan kamu. Karena dengan melihat wajah kamu, kebencian saya semakin meningkat!" Setelah itu, pria yang hampir kepala 4 itu pergi.

Pria yang dulu Gea ingat dengan perlakuan hangat. Dengan tangan yang selalu terbuka mendekap Gea dan selalu tersenyum.

Pria itu kini benar benar meninggalkan Gea. Gea merasa bodoh dan jahat. Lagi lagi dia hanya melukai orang lain.

Mamanya, Alvan, Keluarganya, Hasan,  Papahnya, dan mungkin esok juga Elvan yang akan terluka.

Gea hanya pembawa sial. Gadis itu hanya aib yang memang pantas mati.

Gea tertawa, tawa sarkas yang menghina dirinya sendiri.

Gadis itu menjambaki rambutnya. Memegang kertas yang menyatakan bahwa dia tidak sedarah dengan Papahnya dengan erat.

Gadis itu masuk rumah, dia menuju kamarnya. Bi Lastri sedang izin hari ini. Jadi dia bisa bebas malam ini.

***

Gea duduk lemas di lantai kamar yang dingin itu. Tatapannya kembali kosong. Padahal Papahnya tidak pergi jauh. Tapi kenapa rasa sakit yang menjalar melebihi ketika Mama meninggalkan Gea dahulu.

Rasa sakitnya lebih nyata. Apalagi ketika pria yang dulu merawatnya penuh sayang jelas jelas mengatakan kebenciannya.

Sorot mata hangat itu hilang berganti sorot dingin yang kelam. Gea menyoraki dirinya sendiri.

Gadis itu terlalu tidak tau diri, bahkan untuk tetap disini rasanya dia tidak berhak. Dia anak siapa. Dia bukan anak Papahnya. Berarti dia tak seharusnya ada disini.

Dia harusnya pergi. Dia tidak berguna. Kenapa dia tidak mati saja.

"Kenapa gue masih hidup." Gadis itu bergumam, sorot mata kosong itu benar benar mengerikan.

"Kenapa Tuhan mertahanin gue buat hidup. Gue cuman manusia pembawa sial. Gue orang gak berguna. Haha, kenapa gak mati sih gue ini." Gea tertawa sarkas. Tawa mengerikan yang tak pernah gadis itu tunjukan.

Sisi hitam Gea yang selalu gadis itu kubur dalam. Kini kembali.

Setelah kematian Mama, Gea sudah tidak pernah lagi nakal dan berbuat aneh aneh. Gadis itu berhenti membuat repot.

Gea tertawa sarkas sekali lagi, pandangannya masih kosong. Kini tangannya beralih menampar dirinya sendiri sambil mengatai dirinya bodoh dan tidak tau diri.

Gea tertawa lagi lagi. Gadis itu mengambil gunting di meja belajarnya. Dia dengan cepat menggunting rambut panjang yang selalu dia banggakan.

Rambut panjang yang selalu dianggap cantik oleh Mama. Gadis itu tersenyum sinis. Memotong rambutnya secara acak menjadi sebahu.

Gea membuka lacinya. Mengambil salah satu dari beberapa cutter yang terbaris rapi disana. Dia sengaja menyimpannya. Dan sekalu dua kali sempat menggunakannya jika kegilaannya muncul.

Tapi dulu rasanya tidak sekosong ini. Bahkan kini dengan beberapa sayatan dia tak merasa baikan. Padahal biasanya hanya butuh satu dan dia merasa baik baik saja.

Gea tersenyum saat melihat darah mengalir dari tangannya. Seakan melihatnya sebagai hiburan.

Selama ini Gea sudah berusaha untuk tidak merepotkan dan menjadi gadis baik agar bisa dibanggakan. Tapi lagi lagi dia ditampar kenyataan. Bahwa dia hanya bisa dibenci.

Gea merasa lelah hidup dengan topengnya. Dia ingin bebas dari semua tekanan rasa bersalah dan ketakutan. Dia tidak gila. Tidak.

Gea menampar dirinya lagi. Berulang kali sampai pipinya terasa perih dan tanganya terasa kebas.

Gadis itu sudah tidak bisa menangis lagi. Air matanya kering. Entah pukul berapa ini. Dia tak tau.

Gea tidak peduli dengan suhu yang semakin dingin. Semuanya tak terasa, Gea tidak dapat merasakan apapun. Gadis itu meraih vas bunga yang ada di dekatnya.

Dengan mudah dibantingnya vas yang berusi mawar itu. Gadis itu merangkak mengambil serpihan kaca hasil pecahan vas itu.

Bahkan dengan meremat kaca itu, dia tidak merasa baikan sama sekali. Lututnya sudah tertancap kaca, tapi lagi lagi tak terasa. Tubuhnya sudah seperti mati rasa.

Gea tersenyum ketika banyak darah mengucur dari tubuhnya.

Gadis itu menatap kosong sambil berkata dengan suara amat lirih pada dirinya sendiri.

"Mah, abis ini kita ketemu." Setelah itu semua gelap. Gea tak sadarkan diri.

***

DAH BAY AKU GAMAU TANGGUNG JAWAB.

SELAMAT SABTU MALAM HEHEHEHEHEHEHEHHEEH


suka dengan konfliknya ^^

Aylavyu

With love,

Tan. R

Gealvan [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang