Empat

48 8 0
                                    

"Salam buat bunda. Aku pulang." -Virzha

.
.
.
.

Tepat pukul 9 malam, motor Dio sudah berhenti di depan rumah Tari. Tari turun dari motor Dio dan mulai melepaskan helmnya.

Dio pun ikut melepaskan helmnya. "Makasih ya Tar udah mau nemenin gue cari buku. Semoga aja Felly suka sama bukunya."

"Iya Dio......" Ucap Tari membeo sambil membenarkan rambutnya. "Felly pasti suka kok sama bukunya. Itu kan pilihan lo."

"Semoga aja." Dio bergumam setelahnya. "Yaudah Tar. Udah malem, nih. Gue cabut, ya? Sampai ketemu di sekolah," pamit Dio sambil mengacak rambut Tari.

"Ih... Dio... Kan baru gue benerin rambutnya." Tari mengerucutkan bibirnya. Dio ini ya, menyebalkan sekali. Sudah malam begini masih saja usil.

Dio kembali memakai helmnya dan mulai menyalakan mesin motornya.

"Hati - hati, Di," pesan Tari seraya melambaikan tangannya.

Tari pun melangkah masuk, membuka pintu pagar rumahnya, dan melihat ada motor yang terparkir di halaman rumahnya. 'Motor Virzha?' batin Tari.

Tari membuka pintu rumahnya dan menemukan Virzha yang terduduk di sofa bersama dengan bunda.

"Tari... Kok lama banget sih pulangnya?" Bunda berjalan menghampiri Tari. "Ada Virzha tuh nungguin kamu dari tadi. Kasian dia."

Tari tersenyum tipis kearah bunda dan berjalan gontai menuju sofa.

"Tari nya udah dateng kan Virzha? Bunda tinggal ke kamar, ya," ucap bunda melangkah menjauh menuju kamar.

Virzha menganggukkan kepala dan tersenyum kearah bunda.

"Darimana?" tanya Virzha menatap kosong kearah depan.

"Aku abis temenin Dio cari buku," jawab Tari santai seraya memainkan ponselnya.

"Sejak kapan sering pergi sama Dio malem - malem kayak gini?" Virzha menoleh kearah Tari. Menunggu jawaban Tari dengan tatapan tajam.

"Aku cuma nemenin Dio ke toko buku kok." Tari menghela napasnya dan meletakkan ponselnya di atas meja.

"Kenapa kamu nggak bilang aku dulu sebelum pergi?"

"Vir, aku pergi cuma anterin Dio cari buku," ulang Tari, "Sebentar doang kok."

"Sebentar?" tanya Virzha, "Aku disini udah nunggu kamu 2 jam. Kamu bilang sebentar?" Virzha mulai naik pitam.

Tari menghela napas. Membuang pandangannya asal. Tak berani menatap mata Virzha yang sudah menatapnya tajam.

"Vir, aku males berantem." Tari memejamkan matanya seraya memijit pelan keningnya. Kepalanya mendadak sakit.

"Kamu pikir aku mau berantem terus sama kamu? Kamu selalu pancing emosi aku."

"Aku?" Sambil menunjuk dirinya sendiri. "Aku mancing emosi kamu?" Tari tersenyum miring. "Kamu yang selalu kayak gini. Kamu yang selalu mulai, Vir."

Virzha membuang napasnya kasar. "Aku capek ya, Tar. Selalu aja berantem. Aku capek, Tar."

"Kamu pikir, aku nggak?! Aku juga capek, Vir. Aku lebih capek," balas Tari menatap Virzha dengan mata yang mulai berkaca - kaca. Satu kedipan saja airmata Tari pasti terjatuh.

"Ngertiin aku sedikit aja, Tar. Bisa nggak sih, nggak usah sel—"

Tari memotong pembicaraan Virzha. "Kamu yang harusnya bisa ngertiin aku. Kamu selalu minta dimengerti, tapi nggak berniat mengerti aku. Aku pacar kamu atau bukan sih, Vir?" Airmata Tari sudah meluncur bebas di pipi miliknya.

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang