Dua Puluh

15 5 0
                                    

"Jangan nangis, Tar." -Dio

🌈

Tari menuju kelas dengan terburu -buru. Moodnya sudah hancur entah mengapa melihat Dio bersama Felly. Apa ini kecemburuan yang dimaksudkan waktu itu?

Tari masuk ke kelas lalu menghampiri mejanya. Disana sudah ada Shena yang terduduk manis di bangku sebelahnya.

"Kok gue duluan yang sampe kelas sih, Tar?" tanya Shena.

Tari terduduk dengan gusar dan menatap Shena dengan mata yang sudah berkaca - kaca.

"Eh, wait. Lo kenapa, Tar? Ada yang ngelukain lo? Ada yang jahatin lo? Mana yang sakit? Siapa Tar? Bilang gue." Shena khawatir. Ia membolak - balikkan tubuh Tari, memeriksa apakah ada goresan lecet di tubuh Tari atau tidak.

Tanpa aba - aba, Tari langsung memeluk tubuh Shena dan menangis sejadi - jadinya. Ia tak memikirkan apapun. Tak memikirkan jika teman - temannya mungkin akan bertanya mengapa ia menangis. Yang saat ini ia inginkan hanyalah ketenangan.

"Hey, lo kenapa Tar? Gue jadi bingung tau liat lo kayak gini. Sebenernya apa yang terjadi sama lo? Lo cerita sama gue." Shena mengusap punggung Tari mencoba menenangkan. Ia masih bingung mengapa tiba - tiba Tari menangis.

"Udah ya, diem. Jangan nangis lagi. Lo cerita pelan - pelan ke gue. Apa yang terjadi. Apa yang buat lo nangis kayak gini." Shena melepaskan pelukannya dan mencoba meredakan tangisan Tari.

Tari masih saja tak mau memberitahu dan masih setia dengan tangisnya. Mungkin, ini benar - benar menyakitkan untuk Tari.

Siapa yang tidak merasa sakit, jika memiliki sahabat lelaki tiba - tiba menjauh dan pada akhirnya bersenda gurau dengan perempuan lain? Jelas saja itu menyakitkan. Cemburu memang tak mengenal status. Entah sahabat ataupun kekasih, cemburu tetaplah cemburu.

"Tar, jangan nangis terus. Nanti banyak yang nyamperin lo. Untung aja kelas sepi. Udah cup... cup... Diem ya..." Shena sudah kehabisan cara untuk menenangkan Tari.

Akhirnya Tari menghentikan tangisnya. Ia mengusap airmatanya dan menarik napasnya panjang. Ternyata menangis membuatnya lelah. Padahal ia menangis tak butuh waktu lama.

"Udah ya... Sekarang lo cerita sama gue. Lo kenapa tiba - tiba nangis kayak gini? Lo sakit?" Shena mencoba bertanya perlahan - lahan.

Tari menatap Shena. Ia belum mau membuka suara. Mungkin saja tenggorokannya mendadak kering atau mungkin mulutnya sedang sariawan.

"Tar, lo jangan diem aja. Kasih tau gue. Mana bisa gue tau lo kenapa, kalo lo aja nggak mau bicara." Shena sudah mulai kesal. Ia mulai memaksa Tari untuk berbicara. *Susah amat si diajak bicara doang?

Tari masih terdiam.

"Tar? Lo bisa ngomong kan? Gue lagi nggak ngomong sama tembok kan? Lo kesambet setan bisu ya?" Shena menggoyang - goyangkan lengan Tari.

Tari masih saja terdiam.

"Tar? Jawab gue. Lo kenapa? Lo dicakar adek kelas? Lo dijambak? Lo dibully? Lo sakit? Mau gue temenin ke uks? Lo kebelet BAB? Kenapa?" Shena sudah kesal pada Tari yang tak kunjung berbicara.

Tari menggeleng pelan.

Akhirnya, Tari sudah mulai merespons, walaupun hanya gelengan kepala saja.

"Terus kenapa?" tanya Shena lagi.

"Gue nggak mau kayak gini terus Shen." Tari menatap lurus ke depan. Memang benar, ia tak harus selalu begini.

Shena mengerutkan keningnya, "Maksud lo? Gue nggak ngerti." Shena merasa bingung.

MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang