Chapter 3

6.9K 327 0
                                    

Hayooo!!!
Komen dan tekan ⭐ Gratis kok.
Butuh dukungannya juga. Saya hanya penulis amatiran dan masih butuh belajar.

Krisannya di tunggu!

                         ****

Setelah kedatangan Alvaro, pak Ali bergegas pergi. Bayangan pak Ali sudah tidak terlihat, semua siswa langsung berteriak saat Alvaro berjalan ke depan.

Nafisya hanya terdiam. Dia tidak tertarik untuk berteriak seperti wanita lain.

"Morning student's," sapa Alvaro dengan nada datar.

"Morning, sir!" jawab semua siswa serentak.

"Oke, di sini saya hanya menggantikan dosen kalian untuk sementara. Dan apa ada pertanyaan."

Semua siswa saling berbisik, lebih tepatnya para siswa perempuan. Sementara, siswa laki-laki hanya acuh saja.

"Pak, apakah saya boleh bertanya?" ucap salah satu siswa dan Alvaro hanya berdehem saja.

"E-em, apakah bapak mau jadi pacar saya?" tanya dia yang membuat ruangan itu heboh.

"Pertanyaan yang tidak penting. Baiklah kita mulai saja belajarnya."

                         ****

Kegiatan belajar sudah selesai. Sekarang semua siswa masih berada di tempatnya masing-masing.

Nafisya hanya menghela Nafas, dia ingin keluar. Namun, semua siswa belum ada yang keluar.

Ntahlah, padahal Alvaro sudah menyuruh mereka keluar. Namun, mereka semua hanya menggeleng.

"Pak, boleh saya bantu? Sepertinya bapak kesulitan membawa banyak barang," tawar salah satu siswa dan Alvaro hanya menggeleng bahwa dia tidak perlu di bantu.

Nafisya melihat bahwa sebenarnya Alvaro kesusahan. Membawa laptop dan juga beberapa berkas.

Alvaro mencari seseorang untuk membantunya. Sebenarnya, dia memang kesusahan. Namun, dia tidak ingin para perempuan berisik yang membantunya.

Dia meneliti satu persatu yang bisa membantunya, dan tepat! Pandangannya jatuh pada seorang perempuan yang sempat dia temui di lorong tadi, sepertinya dia tidak terlalu berisik seperti perempuan lainnya.

"Kamu, yang paling pojok, ke sini!" titah Alvaro dengan nada ketus.

Nafisya hanya celingak-celinguk siapa yang dipanggil. "Maksud bapak, ana?" tanya Nafisya seraya menunjuk dirinya sendiri.

"Ya, kamu! Cepat ke sini."

Nafisya berdiri dan melangkah menuju Alvaro. Semua tatapan tertuju padanya, oh ya Tuhan! Tatapan mereka semua serasa menelanjangi Nafisya saja.

Saat sudah di hadapan Alvaro, entah kenapa tiba-tiba jantung Nafisya berdetak tidak beraturan.

Nafisya hanya menghela nafas, memangnya kenapa kalau jantung berdebar? Ya, wajar saja bukan! Toh, dia manusia yang mempunyai jantung. Tapi, aneh juga! Kenapa jantungnya bisa berdetak tidak normal? Padahal sebelum dia ke sini detak jantungnya teratur.

Nafisya hanya tersenyum, meskipun tidak terlihat di karenakan cadar. "Na'am pak, ada yang bisa ana bantu?" tanya Nafisya.

"Kamu, bantu saya bawa laptop ini," ujar Alvaro menyerahkan laptop dan langsung melenggang pergi.

Sedari tadi, Nafisya merasa tidak enak hati. Dia faham bahwa semua orang tengah menatapnya tajam. Menundukan kepala, itulah yang bisa dia lakukan.

Sesekali Nafisya mendengar orang-orang mencibirnya. Ada yang mengatakan cari perhatian lah, jalang dan lain-lain. Nafisya cuek saja, niat awal dia juga hanya membantu.

                          ****

Setelah sampai, Nafisya berhenti dikarenakan langkah Alvaro terhenti. Alvaro membalikan padannya dan mengambil laptop yang dipegang Nafisya.

"Sudah, terima kasih telah membantu saya dan kamu boleh pergi," ucap Alvaro dengan nada yang datar.

Nafisya hanya mengangguk saja dan melangkah pergi. Baru saja beberapa langkah, Alvaro kembali berucap. "Oh ya, bilang juga kepada teman kamu untuk meninggalkan nomor telepon dan kamu berikan kepada saya jika sudah ada."

Nafisya mengangguk, sebenarnya dia heran untuk apa nomor telpon semua temannya?.


                            *****

Nafisya kembali ke kelasnya. Dari tadi dia melihat para perempuan masih menatapnya tajam. Acuh, itulah yang Nafisya lakukan.

Nafisya mencoba memberanikan diri untuk berbicara. Ya, ini soal permintaan Alvaro beberapa waktu lalu.

"E-eh, afwan! Apakah ana boleh minta waktunya sebentar?" ujar Nafisya dan syukurlah mereka mengangguk faham.

"E-eh, ada pesan dari pak dosen, dia meminta semua yang ada di sini untuk menuliskan nomor ponsel kalian masing-masing," ucap Nafisya dengan gugup. Semua hanya terdiam, satu detik, dua detik, tiga detik dan semua langsung heboh lebih tepatnya para perempuan. Berbeda dengan para laki-laki yang hanya diam saja.

"Lo, beneran pak Al minta nomor kita-kita?" tanya salah satu perempuan mencoba meyakinkan. Nafisya mengangguk saja, belum beberapa menit semua siswa perempuan berebutan ingin menulis nomor ponselnya diurutan pertama.

Setelah nomor ponsel semua siswa ada, hanya nomornya saja yang belum tercantum. Nafisya menimbang-nimbang, haruskah dia mencantumkan nomornya atau tidak.

Akhirnya Nafisya mengambil kesimpulan bahwa dia akan mencantumkan nomor, namun yang sudah tidak aktif. Dia ragu, toh sebenarnya dia tidak akan memberikan nomornya pada sembarang orang, walaupun yang meminta adalah Dosennya.

"Eh, lo mau kasih ini pada pak Al, kan?" tanya Dini.

"Na'am, pak dosen menyuruh ana untuk memberikan data ini jika sudah selesai," jawab Nafisya.

Wanita itu mendekat dan mengambil alih kertas yang dipegang Nafisya sembari tersenyum licik. "Biar gue aja yang kasih ini pada pak Al," seru dia.

Nafisya mengangguk dan dengan senang hati dia akan mengantarkannya. Tanpa banyak bicara Dini langsung pergi meninggalkan Nafisya serta siswa lainnya.

TBC

Minggu, 15 Desember 2019

Yooo! Follow yah, dan tinggalkan jejak kalian buat yang baca.

Sweet Dosen (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang