27. INI MAKSUDNYA APA?

2.3K 163 14
                                    

Taksi yang kutumpangi sudah berhenti, kunyalakan mini voice recorder berwarna hitam yang sebelumnya kubawa, lalu aku menaruhnya di kantong kaos polo yang kukenakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Taksi yang kutumpangi sudah berhenti, kunyalakan mini voice recorder berwarna hitam yang sebelumnya kubawa, lalu aku menaruhnya di kantong kaos polo yang kukenakan. Tak lupa aku mengancingkan kantong untuk menjaga agar benda mungil itu tidak terjatuh, kemudian aku memakai kembali hoodie-ku. Setelah membayar ongkos taksi aku pun turun.

Aku telah sampai di komplek perumahan Citra Lake Asri 2. Lebih tepatnya sekarang kakiku sudah berada di gerbang perumahan. Saking terlantarnya, gerbang perumahan pun sudah rusak dan berkarat. Coba Lihat! Rumah-rumah bertingkat di sana juga sudah penuh dengan coretan graffity, anehnya pemerintah setempat seperti menutup mata dengan perumahan ini.

Aku melangkahkan kaki masuk ke dalam perumahan, suasana di sini begitu sepi. Tapi aku yakin jika aku tidak sendirian di tempat ini. Walaupun aku tidak melihatnya, aku yakin dia sedang memantauku dari kejauhan.

Iya, aku tahu itu sebab waktu di dalam taksi pun ada mobil Jazz yang mengikutiku dari belakang, kemudian ketika taksi yang kutumpangi berhenti di tempat ini, mobil Jazz itu pun menghilang.

Sebuah notifikasi SMS masuk ke dalam iPhone-ku.

Unknown Number
Oke, kamu sendirian.
Aku lihat kamu di pintu gerbang.

Unknown Number
Sekarang jalan ke rumah kosong di dekat rumah orang tua kamu!

Aku pun melangkahkan kaki mengikuti perintah dari SMS itu.

Aku seperti mengenang kembali masa kecilku yang dulu sering lari pagi di jalanan komplek ini bersama Papa. Aku masih ingat bahwa dulu di dekat rumah orang tuaku ada sebuah rumah kosong dan aku yakin rumah itulah yang dimaksud oleh Cowok Gagah.

Jika bukan karena Leni, aku tak akan berani ke tempat ini sendirian. Kenapa? Itu karena siang hari saja suasananya sudah seram seperti ini, apalagi jika malam hari? Aku jamin komplek ini akan jauh lebih seram!

Ditambah di belakang komplek perumahan ada sebuah hutan yang dari dulu sudah terkenal angker. Jika kupikirkan lagi, mungkin itulah penyebab orang-orang memutuskan untuk meninggalkan tempat ini.

Tak terasa, langkah kaki sudah membawaku sampai di depan rumah masa kecilku. Iya, tinggal berjalan sedikit lagi aku akan tiba di rumah kosong yang dimaksud si Cowok Gagah.

Dari pinggir jalan komplek, aku menatap rumah masa kecilku. Rumah itu sudah terlantar bertahun-tahun lamanya. Lihat! Cat rumah saja sudah pudar dan banyak sekali lumut yang tumbuh di tembok serta tumbuhan liar yang sudah merambat hampir menutupi seluruh jendela lantai dua.

Saat aku menatap halaman rumah yang sudah dipenuhi dengan rumput liar, tiba-tiba terbesit ingatan masa lalu di kepalaku, ingatan ketika aku masih kecil, ingatan yang selama ini coba kuhilangkan dalam sejarah hidupku, ingatan sebelum kecelakaan kedua orang tuaku.

Malam itu aku mendengar Papa sedang mengobrol dengan seorang pria yang tidak kukenal di ruang tamu, sementara Mama sedang menangis di dapur. Dari rak buku dekat ruang tamu, aku menguping pembicaraan mereka.

"Berapa lama lagi kamu mau bertahan dengan perempuan itu?" pria itu menanyai Papa, "Aku sudah lelah menunggu kamu."

"Setidaknya sampai anakku tumbuh besar." jawab Papa, "Aku tidak mau menelantarkan anakku."

"We can take care of him in France." pria itu keukeuh.

"Nggak bisa gitu, Damien!" Papa membentak pria itu, "John akan dibesarkan dilingkungan normal!"

"Kamu jangan lupa! Aku yang memberi nama itu untuknya!" pria itu membentak balik, "Dia anak kita berdua, Bram!"

Setelah itu pintu rumah dibanting dengan keras, aku pura-pura tidur di dekat rak buku kemudian Papa menggendongku ke kamar. Saat menggendongku air mata Papa jatuh mengenai wajahku lalu dia berujar pelan, "Maafkan aku, Damien. Maaf."

Aku tersadar dari lamunanku. Sejenak, aku memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menerpa kulitku.

Ayah, aku rindu kamu.

[...]

Aku melanjutkan langkah kakiku menuju tempat penyekapan Leni.

Hanya dalam waktu lima menit, aku sudah sampai di depan rumah kosong yang dimaksud si Cowok Gagah.

Bangunan rumah kosong ini masih tetap berdiri kokoh, aku ingat dulu rumah kosong ini sering dijadikan topik pembicaraan oleh warga komplek di sini. Iya, rumah kosong ini memang terkenal dengan keangkerannya. Waktu aku masih kecil, aku pernah mendengar bahwa sang pemilik rumah kosong ini usianya masih sangat muda dan dia pergi meninggalkan rumah ini begitu saja.

Sudah banyak yang berubah di bagian depan rumah kosong ini.

Tunggu dulu!
Kok ada bekas ban mobil?

Pelan-pelan aku membuka pintu rumah kosong itu dan aku mengendap-endap masuk ke dalam.

Keadaan di dalam rumah begitu kotor, tidak ada barang apa pun di dalamnya.

Eh, tapi ini jejak kaki siapa?

Aku mengikuti jejak kaki itu sampai pada akhirnya jejak kaki pun berhenti di ruang tengah yang mungkin dulunya dipakai sebagai ruang tamu.

Ketika aku menatap ke depan, aku benar-benar terkejut!

Leni sedang diikat di kursi dengan mulut yang disumpal oleh kain. Dia masih mengenakan seragam kerja Anthony's Mart.

Leni melihatku, wajahnya panik dan dia meronta meminta untuk dilepaskan.

Aku tentu saja langsung berlari menghampiri Leni. Sambil mengawasi keadaan sekitar, aku melepaskan kain yang menyumpal di mulut Leni.

Aneh.

Kenapa tidak ada orang yang menjaga Leni?
Apa jangan-jangan ini jebakan si Cowok Gagah?

"Gue takut, John." ucap Leni yang langsung menangis ketika sumpalan kain di mulutnya kulepaskan.

Wajah Leni terlihat panik, "Cepetan! Kita harus kabur sebelum orang itu datang!"

"Ini gue lagi lepasin talinya!" aku mencoba melepaskan ikatan tali tambang yang melilit tubuh dan kaki Leni ke kursi itu.

Aku berhasil!
Leni sudah terlepas!

Seketika Leni langsung memeluk tubuhku, "Makasih, John. Makasih udah nyelamatin gue."

Aku melepaskan pelukannya, "Ayo! Kita harus cepat pergi dari tempat ini!"

Leni mengangguk setuju.

Ketika aku membalikkan badan dan hendak kabur, tiba-tiba ...

BUK!

"Ahh!" aku merintih kesakitan.

Dari belakangku, seseorang memukul punggungku dengan sangat keras.

Saking kerasnya sampai membuatku tersungkur ke lantai. Perlahan kesadaranku mulai hilang.

Tapi sebelum aku pingsan, aku melihat Leni sedang memegang balok kayu dan dia tersenyum licik.

Ini maksudnya apa?
Kenapa Leni memukulku?

*****

Andrew Paul Woodworth - Thick Black Mark

BLUE SKIES [THE END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang