BAB 9

1.3K 98 3
                                    



Pagi ini, Amira disibukkan dengan taman bunga yang ada di halaman rumahnya. Wanita itu sangat menyukai bunga. Saat pindah ke rumah barunya itu, ia segera memesan beberapa jenis bunga agar bisa membuat taman bunga mini di pekarangan rumahnya.

Bunga favorit Amira yaitu bunga Daisy dan Violet. Saat tangannya menyentuh bunga berwarna ungu itu, tiba-tiba hatinya terasa terluka.

"Apa kamu baik-baik saja? Maafkan, Bunda." Setiap melihat atau menyentuh bunga bewarna ungu itu maka Amira pasti akan mengucapkan maaf dan menagis.

"Bunda kenapa?" tanya seseorang yang datang dan menyentuh pundaknya. Daisy.

"Nggak apa-apa, Sayang. Bunda nggak apa-apa," ucap Amira yang secepat kilat, menghapus jejak air matanya agar tidak di ketahui oleh Daisy.

"Kenapa setiap kali liat bunga itu Bunda keliatan sedih? Apa bunga itu mengganggu? Kalo iya, lebih baik kita pindahin ke tempat lain," ucap Daisy sedih.

Tidak mungkin Amira tidak merawat bunga itu. Bunga itu adalah wujud dari seorang yang selama ini ingin ia rawat layaknya anak yang berada di hadapannya ini. Tapi, takdir mempermainkan mereka. Amira tidak punya kuasa untuk melawan takdir tersebut. Takdir yang sulit untuk Amira terima.

"Jangan bicara begitu, Sayang. Bunga itu nggak salah, hanya saja Bunda merasa kehilangan setiap melihat bunga itu. Ada kenangan yang nggak bisa Bunda lupain." Amira bangkit dan membersihkan bagian tubuh belakangnya yang terdapat rumput menepel di pakaiannya.

"Oh ya. Hari ini kamu jadi pergi sama temen cowok kamu itu, siapa namanya? Bunda lupa."

Daisy juga berdiri di samping Amira. Tangannya memilin ujung baju yang dikenakannya. Malu dengan pertanyaan yang bundanya ucapkan.

" Adam. Namanya Adam, Bunda," jawab Daisy malu-malu.
Ya, setelah malam di mana Adam mengantarnya pulang, mulai saat itu mereka menjadi dekat, baik itu di sekolah maupun di rumah Daisy.

Ia tidak mengerti kenapa cowok itu selalu hadir dalam hari-harinya belakangan ini. Tapi, jujur saja ia juga menikmati kebersamaan mereka. Adam sangat baik dan perhatian dengannya.

                                 ***

Sekolah.

"Dam, ntar pulang sekolah temenin gue ke toko buku buat beli resep masakkan." Violet menghampiri Adam yang tengan duduk bersama beberapa temannya di bangku kelas bagian belakang.

"Lo kesambet apaan tiba-tiba beli buku resep masakkan? Emang lo bisa masak?" ucapanya heran.

"Justru itu. Eyang gue maksa gue buat mulai belajar masak. Dia mau gue bisa masak secepatnya." Violet menghembuskan napas lelah.

"Eyang lo maksa mulu deh perasaan. Kemaren maksa lo buat ikut bakti sosial. Sekarang maksa buat bisa masak. Besok-besok apa lagi? Maksa kawin?"

Sontak teman-teman yang ada di dekat Adam tertawa tertahan saat mata Violet memelototi mereka satu persatu.

"Nggak usah bacot deh. Jadi intinya lo bisa temenin gue nggak sih?" sembur Violet merasa kesal.

"Ehm ... gimana, ya. Sebenernya hari ini gue udah ada janji sama seseorang pulang sekolah nanti. Lo pergi sendiri aja nggak apa-apa, kan?" ucap Adam merasa tidak enak menolak ajakan Violet tapi ia juga sudah punya janji dengan Daisy. Adam ingin mengajaknya kencan.

"Lo nolak gue gara-gara mau jalan sama cewek penyakitan itu kan?" Violet menarik sebelah alis matanya.

"Namanya Daisy. Jangan sadis gitu ngomongnya," tegur Adam yang tersinggung dengan ucapan Violet.

"Sorry." Violet meninggalkan Adam dengan perasaan kesal.

Sejak Adam dekat dengan gadis berjepit rambut kupu-kupu itu ia merasa ada jarak di antara mereka. Bukan perasaan cemburu atau sejenisnya, hanya saja Violet menjadi sendirian dan kesepian. Adam sudah Violet anggap sebagai saudara sekaligus sahabat laki-laki untuknya.

"Sorry, Vio! Kapan-kapan gue bakalan temenin lo!" Adam berteriak di belakangnya dan Violet hanya mendesah lemah.

                                  ***

Selama pelajaran berlangsung, Violet sedikit tidak semangat. Bahkan saat bel pulang pun berbunyi, dia melihat Adam sudah menyandang tasnya meninggalkan kelas. Sahabatnya itu terlihat antusias dengan apa yang akan dilakukannya.

"Gue, duluan ya, Vi!" Pamit Adam kemudian berlalu dari hadapan Violet.

Violet menjadi murid terakhir yang meninggalkan kelas.
Saat hendak keluar, tangan Violet tiba-tiba ditahan oleh cowo berbadan atletis yang selama berhari-hari ini membuat Violet resah. Violet terkejut mendapati orang itu adalah Maxim.
Maxim melempar sebuah kertas ke wajah Violet,

"Baca!"

Tangan Violet bergetar saat mengambil kertar yang Maxim lempar. Matanya membesar saat membaca kertas itu. Itu adalah surat perceraian.

Tangan besar yang diselimuti urat hijau itu meraih dagu Violet dan menekannya keras membuat Violet mau tidak mau meringis.

"Gue udah pernah ingetin lo buat bikin mereka mengakhiri hubungan sialan itu. Lo tau, nyokap gue nangis semalaman gara-gara ini!"

Belum sempat Violet membalas ucapan Maxim cowo itu sudah menyeretnya keluar dan memaksanya masuk ke mobilnya.

"Lepasin gue! Ini bukan salah gue, Max!" Violet mencoba melepaskan diri. Dilihatnya ke segala arah, mencoba mencari bantuan, tapi tidak ada siapapun selain mereka.

 Dilihatnya ke segala arah, mencoba mencari bantuan, tapi tidak ada siapapun selain mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.












DAISY & VIOLET 17+ | REPOST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang