POM [21 Keputusan

535 44 2
                                    

Mata nya terbuka perlahan, masih beradaptasi dengan cahaya yang menyilaukan mata. Telinganya sakit, suara yang terus berdengung itu sangat mengganggu nya.

Hingga pengelihatan dan pendengaran kembali normal, ia melihat langit-langit yang sudah pasti rumah sakit.

Namun suara yang di dapatkan sangat menyakiti hatinya, "salahku.....maafkan aku....Tolong bangun"

Suaranya tak bisa keluar, lidahnya kelu. Bahkan tak bisa meski hanya mengeluarkan satu huruf saja.

"Aku takut......maafkan aku......aku tidak bisa" suara itu terdengar sangat menyakitan, hatinya tertusuk.

"Kak" ia bisa bersuara, meskipun lirih. Sangat lirih, namun Jimin menangkap suara teramat lirih itu.

Jimin langsung bangkit, mata sembabnya menatap tak percaya. Air mata nya kembali terjatuh, ia mengukir senyum.

"Untunglah" nada yang begitu tulus, Jimin lega walau dirinya tak lupa dengan kenyataam yang harus adiknya terima.

"Kak"

"Oh" Jimin teringat untuk segera memanggil dokter, ia memencet tombol di dekat Bed Jungkook.

Jimin begitu bahagia, hingga adiknya kembali bersuara. "K-kenapa....tidak.....bisa...berge-rak?"

Deg!

Kaki nya melemas, ia berlutut seraya menggenggam sebelah tangan Jungkook yang terbebas infus dengan erat.

"Maafkan kakak"

Cklek

Pintu ruang rawat Jungkook terbuka, dokter dan beberapa suster datang membawa peralatan yang tak Jimin dan Jungkook ketahui.

Mereka memeriksa Jungkook, dan perlahan mulai menjelaskan semuanya. Sejak itu tak ada lagi sosok Jungkook yang hidup.

Ia seakan mati tanpa semangat. Tak ada lagi cahaya yang terpancar dari matanya, cahaya itu meredup. Gelap.

Bibirnya tak pernah lagi ia gunakan untuk tersenyum, semuanya telah berubah. Jungkook yang amat bercahaya berubah menjadi aura gelap.

Jimin tak mengenali sosok itu, sosok yang termenung menatap langit-langit tanpa semangat hidup. Tanpa kebahagiaan.

Apa dia tak ingat janjinya dulu? Janji bahwa ia akan selalu bahagia.

Hari terus bergerak merangkak, berjalan menuju minggu, berlari ke bulan, dan terus tanpa henti hingga bertahun-tahun.

Selama itu Jimin merasa sepi, hatinya dipenuhi rasa rindu yang ingin dihilangkan. Rasa rindu pada binar mata sang adik, senyum seindah bulan sabit di malam hari milik sang adik.

Rindu tertawa bersama diatas panggung besar. Semua kenangan itu mulai terputar jelas, tak pernah hilang dari ingatannya.

Apa Jungkook juga seperti itu? Apa kenangan bersamanya sudah hilang?

Jimin lelah menatap Jungkook termenung dengan tatapan kosong nya, lelah melihat Jungkook terbaring tanpa tenaga, Jimin sudah lelah merasa seperti itu.

Jungkook juga merasa lelah, ia lelah melihat kakak dan orang tuanya menangis karena Jungkook, lelah menjadi tak berguna, lelah menyusahkan mereka.

Jungkook juga lelah dengan ini semua. Pikiran dan hatinya telah memutuskan, dia tidak akan menyesal.

Suara yang tak pernah lagi terdengar seakan tenggelam di samudra yang tak ditemukan mendadak bersuara.

Setelah bertahun-tahun ia enggan menggerakkan bibir itu untuk memberitahukan suara indah nya, kini mendadak bersuara.

Jimin terkejut, hatinya menghangat. Namun ia juga merasa sedih, lagi-lagi Jimin ingin kembali menolak kenyataan.

Kenyataan tentang keputusan sang adik yang tak masuk akal.

"Jangan pernah menangis, kak"

"Walau saat itu adalah saat terberat bagimu untuk melepasku"

Bersambung?

Provisions Of Memories  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang