#3

111K 4.4K 143
                                    

"Jadi, bagaimana malam pertama dari pernikahanmu?" Seorang pria maskulin bermata abu gelap masuk ke dalam kantor Darren sambil tersenyum menyebalkan. Ini jam makan siang, tapi lelaki pemilik ruangan masih berada di sana, sibuk berkutat dengan semua hal yang ia tinggalkan kemarin demi menghadiri resepsi pernikahannya yang tak terasa penting.

"Apakah kau tidak punya adat untuk mengetuk terlebih dahulu, Tuan Marvin Frew?" sinis Darren ketika ia melihat pria menyebalkan itu sudah duduk di sofa yang sering Darren pakai untuk menerima tamu sambil melirik ke arahnya dengan pandangan menyebalkan.

"Ups, maaf, lupa." Marvin mengedikkan bahu cuek, dia benar-benar terlihat menyebalkan. "Tok, tok, permisi, Tuan Darren Malferent yang baru menikah kemarin. Jadi, bagaimana kabar malam pertamamu? Is she hot?"

Darren menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia sedang tak ingin membahas soal Violet dan segala tentang gadis itu. Namun, pertanyaan yang sejak tadi pagi ditujukan padanya selalu berbau soal perempuan tersebut. Mulai dari mamanya, papanya, Marvin, dan bahkan ... dia saja mempertanyakan soal Violet. Semuanya mulai terasa sangat menyebalkan!

"Oh! Jadi sekarang kau tak mau berbagi pada sahabatmu sendiri?" Marvin mendecih kesal dan mendekat ke arah Darren. Lelaki itu kemudian berusaha mengganggu Darren yang sibuk bekerja dengan mengambil beberapa berkas yang harus Darren periksa di meja. "Oh, siapa yang masih bekerja di hari pertama pernikahannya? Kau sangat tidak menyenangkan, Darren! Lagi pula, istrimu cantik sekali, tahu! Aku terpana ketika melihatnya dengan wedding dress kemarin. Seharusnya aku saja yang menikahi dia kalau kau tak serius."

Darren masih sibuk dengan hal-hal yang harus ia kerjakan dan mengabaikan Marvin. Membuat pria bermata abu itu mendecak kesal karena ia sudah berkata panjang lebar dan Darren sama sekali tidak mendengarkannya.

"Hei! Kau dengar aku, Malferent?!" Marvin memperbesar volume suaranya. "Ck! Violet benar-benar sial karena harus memiliki suami seperti ini, dia pasti menyesal kalau mengetahui soal Darren dan semua keberengsekannya di balik wajah tampan ini."

"Ambil saja dia kalau kau mau." Tiba-tiba Darren bersuara yang membuat Marvin terdiam setelah lelaki itu mengoceh panjang lebar.

Mata abu Marvin mengerjap beberapa kali. Dia menatap Darren dengan pandangan aneh. Tentu saja Marvin mengetahui soal perjodohan Darren, ia juga tahu kalau pernikahan tersebut adalah sebuah pemaksaan dari keluarga Malferent pada Darren, tapi Marvin tidak menyangka kalau Darren ... akan semudah itu ... menyerahkan Violet pada Marvin.

"Kau serius?" balas Marvin bingung.

Darren mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. "Aku hanya membutuhkan status pernikahan. Bukan seorang istri. Aku sudah memiliki orang yang kusayang dan aku tak butuh Violet, kau bisa ambil dia kalau kau mau."

"Oh, man! Itu kasar sekali!" Marvin memprotes dengan ekspresi yang mendramatisir. "Dia pasti sangat sedih kalau dia mendengar apa yang kau katakan. Katakan padaku, kenapa kau terdengar tak menyukainya? Maksudku, Violet cantik ... dia terlihat baik."

"Apa aku butuh alasan untuk tak menyukai seseorang?" Darren kali ini berpaling dari layar tabletnya dan memandang Marvin.

"Tentu saja. Bisa saja dia mendengkur dengan keras saat dia tidur jadi kau kesal, atau dia ... tidak pandai melakukan itu? Jadi kau mau memberikannya padaku?" terka Marvin bingung.

Sebuah bolpoin bewarna hitam terlempar dari tangan Darren menuju kepala Marvin, yang membuat lelaki itu mengaduh setelah bunyi pletak terdengar keras sebelumnya.

"Sakit! Kenapa kau melemparku, sialan?!"

"Kau itu bodoh. Seorang playboy dengan otak dungu." Darren mengeleng-gelengkan kepala, bertanya-tanya bagaimana nasib Frew Group bila perusahaan itu diwarisi oleh Marvin. "Aku bahkan tidak pulang ke apartemen kemarin, menurutmu, bagaimana aku bisa tahu dia bermain dengan baik atau tidak?"

"Kau tidak pulang?! Di malam pertama kalian?! Berengsek sekali Anda, Tuan Darren!" seru Marvin mendramatisir yang membuat ia kembali mendapat lemparan bolpoin dari Darren. "Sakit! Omong-omong, kenapa kau sejahat itu, sih? Memangnya Violet salah apa? Apa dia adalah gadis jahat yang ingin menghabiskan harta orang tuamu? Jadi kau begini?"

"Kau terlalu banyak menonton film dengan wanita-wanita penghiburmu rupanya," jawab Darren sinis. "Aku tak membencinya, aku juga sebenarnya tak bermaksud jahat. Aku ... hanya butuh pernikahan, bukan Violet. Karena itu aku tak tahu harus bersikap bagaimana. Aku tak mau membuatnya mencintaiku karena kutahu itu hanya akan menyakitinya lebih banyak lagi, jadi lebih baik aku bersikap jahat, bukan?"

"Dan mengapa kau hanya butuh status pernikahan? Memangnya kenapa?" Marvin menggaruk kepala. Darren lupa kalau sahabatnya itu memang agak lemot dan salahnya juga tidak menceritakan segala hal dengan detail kepada Marvin.

"Huh, jadi aku harus bercerita panjang lebar rupanya." Darren menggerutu. "Duduk dulu, biar kujelaskan dari awal supaya otak bodohmu itu berjalan lebih cepat."

Marvin menarik kursi yang berada di pinggir ruangan dan ia duduk persis di depan meja kerja Darren tanpa protes atau berkata apa-apa, dia terlihat sangat penasaran. Dan ya, Darren memang tak terlalu pandai bersahabat dan dia sudah berteman lama dengan Marvin. Hanya saja ada beberapa hal yang tak ia bagi. Bukan karena ia tak percaya Marvin, hanya saja ... terlalu aneh menceritakannya. Ia terdengar seperti bajingan jahat bila ini dijabarkan. Percayalah.

"Jadi ... kau masih ingat Gladys?"

"Wait a minute, Gladys? Gladys Yasmine? Gladys Jane? Gladys Tamara? Glad--"

"Gladys mantanku, bukan Gladys pacar-pacarmu!" sela Darren kesal ketika Marvin menyebutkan nama yang bahkan terasa asing di telinganya.

"Oh. Bilang, dong! Um, sebentar, aku tahu! Aku mengingat namanya. Gladys ... Gladys ... Beu ... Beua ... ah! Kenapa namanya sulit sekali?!"

"Gladys Beutaniahart," balas Darren tenang. Ia berusaha terbiasa dengan Marvin, tapi sepertinya ia tak pernah bisa. "Mantanku saat kita bersekolah dulu, remember?"

"Ah! Iya! Perempuan itu!" seru Marvin bersemangat ketika ia sudah mengingatnya dengan jelas. Sekarang umur mereka 28 tahun dan zaman sekolah sudah lama berlalu. Jadi, kenapa Darren membahas soal masa lalunya? "Jadi, kenapa dengan dia? Kudengar dia sudah menikah dan memiliki satu anak. Bukan begitu?"

"Ya." Darren mengangguk. "Aku masih mencintainya."

"Kau pasti gila!" Marvin berseru heboh. "Meski kita tinggal di negara bebas, tapi mencintai istri orang ... itu kelewataan! Kau sudah kehilangan akal, ya?"

"Ck! Aku tak gila dan aku masih sangat waras. Suaminya bukanlah suami yang baik. Dia sering ditinggalkan, jadi ... kami ... masih berhubungan ...." Darren menjelaskan perlahan. "Tapi ... orang tuaku tahu. Dia tak ingin aku mempermalukan nama perusahaan jadi aku dipaksa menikah agar orang tahu aku sudah punya istri dan hubunganku dengan Gladys hanya sebatas teman di depan orang lain. Orang tuaku bilang aku bisa menemui Gladys selama aku menikah dengan perempuan yang mereka tentukan, jadi aku tak punya pilihan lain selain menerima semua perjodohan itu."

"Dan semalam aku bermalam di rumah Gladys ... makanya aku tak pulang," sambung Darren.

"You are a bastard, Darren! Aku tak menyangka kalau kau setega itu, astaga! Kasihan Violet!"

"Aku juga tahu kalau dia menyedihkan karena menikahiku, tapi bagaimana lagi? Toh orang tuanya mendapat keuntungan yang besar dari pernikahan ini dan dia juga kutunjang biaya hidupnya. Menikah denganku itu merupakan sebuah anugrah, selama ...."

"Selama?" Marvin menaikkan alisnya sebelah selagi menunggu Darren selesai berbicara.

"Selama dia tidak jatuh cinta padaku."

"Dan aku sungguh berharap dia tidak jatuh cinta padamu," kata Marvin sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Dia akan benar-benar kasihan kalau sampai mencintaimu. She is marrying a bastard and she doesnt know about that."

"Yeah, kau benar ...." Darren menatap langit-langit dan merenung. "She is marrying a bastard."

Marrying Mr. BASTARD! [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang