17. Midnight

666 47 0
                                    

Ara sedang menyeruput coffe latte kesukaannya bersama orang yang ia sukai juga. Adlin. Sahabatnya semasa SMP. Mereka sedang duduk santai di sebuah kafe.

Semalam Adlin bilang ingin ketemu, dia kangen. Saat malam reunian itu ia datang terlambat, alhasil mereka tidak bertemu.

"Vika kemarin gak dateng ya?" Tanya Ara sambil menyandarkan dirinya ke kursi kayu itu.

"Dia sama gue. Niatnya mau bareng lo juga, tapi pas kerumah lo, Ayah bilang lo udah duluan." Adlin memotong kue tiramisu, "sama cowok." Lalu menyuapkannya ke dalam mulutnya itu.

"Yeuhh.. tuh cowok tiba - tiba minta ikut." Sangkal Ara.

"Siapa namanya? Adnan ya kalo gak salah?" Tanya Adlin memastikan.

Ara tersedak ludahnya sendiri, "kok bisa tau?!"

Adlin menyengir, "orang waktu gue dateng rame banget. Eh bukan rame, kacau banget."

Ara makin terkejut, "eh seriusan? Jadi gimana dong?"

"Ya gitu.." gadis itu menghelakan nafasnya dengan pasrah, "btw, lo baik - baik aja kan?"

"Apanya?" Ara memotong kue tiramisu yang sama, hendak memakannya.

"Sekolah lo. Baik - baik aja kan?" Garpu yang ingin masuk ke mulut berhenti seketika.

Ara mengalihkan atensinya ke Adlin yang nampak cemas, lalu tertawa untuk mencairkan suasana, "ahahaha.. apaan sih, Lin? Gue gak kenapa - napa kok." Gadis itu tertawa sangat kaku.

Namun wajah Adlin masih tetap serius, "Ra, lo gak perlu nutupin apapun dari gue, gue itu masih sahabat lo. Ceritain ke gue semua yang selalu lo pendem, Ra." Adlin menggenggam tangan Ara, "jangan simpan semua sendirian."

Ara menunduk, lalu tersenyum. Senyuman yang terpaksa diulas di wajahnya, "gue gak papa kok, Lin." Ia menatap wajah sahabatnya itu.

Adlin tersenyum, "gue tau, Ra. You always cover your sadness." Ia menatap balik sahabatnya.

Sekarang Ara masih mengulas senyum, tapi bukan senyum kebahagiaan. "Gue gak p--" dadanya terasa sesak untuk mengatakan hal itu lagi. Terasa sakit untuk memaksakan semuanya lagi, memaksakan untuk terlihat baik - baik saja di hadapan orang lain. Padahal hati sedang terluka dan membutuhkan tempat bersandar.

"I'm not fine.." sebulir air jatuh dari matanya. Gadis itu sudah tak kuat, ia lelah. Ia tak tau alasan jelas yang membuat dirinya merasa berat, beban apa yang menyulitkannya. Ia benar - benar lelah, hanya kata itu yang terlintas.

Ia tak mau menangis di depan orang, tapi beban dan rasa sakit di hatinya sudah tak tertahan lagi. Benar - benar berat.

"Gue paham, Ra. Gue ngerti." Ucap Adlin sambil mengelus pundak sahabatnya yang sedang terisak itu.

"Gue capek." Dua kata itu yang selalu keluar dari mulutnya. Ia tak tau bagaimana harus menunjukkannya.

"Gak papa, Ra. Gak papa lo capek, lo udah ngelewatin banyak hal. Wajar lo capek." Gadis itu masih mengelus pundak temannya. "Gak ada salahnya buat lo istirahat sejenak. Orang - orang gak berhak ngebuat ngelarang lo."

Capek itu wajar.

Lelah itu wajar.

Itu hak semua orang.

***

"Lain kali kalo ada masalah, atau apapun itu, cerita sama gue. Jangan sampe gue ngedengar masalah lo dari orang lain."

Itu yang Adlin katakan tadi, sebelum akhirnya mereka pulang.

Sekarang sudah jam 01.04

StepbrotherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang