Adnan merangkul bahu gadis itu dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya tengah menggenggam lengan si gadis.
Ayah sedang duduk santai di teras, namun wajahnya berubah ketika melihat kondisi anaknya yang penuh luka dan kaki yang pincang.
"Kamu kenapa, Ra?" Tanya Ayah, dengan khawatir yang tergambar jelas di wajahnya itu.
"Hmm. Tadi jat--"
"Dia cidera waktu lomba, Om. Awalnya cuma ada beberapa luka, tapi dia paksain. Ya gini deh jadinya. Anak Om bandel." Sela Adnan yang membuat atensi Ayah teralihkan ke dirinya.
Ayah memukul lengan anak gadisnya itu, "ih, kamu ini ya!" Ia melotot. Namun bukannya terlihat seram, Ayah terlihat lucu.
Ara hanya meringis kecil karena ayahnya itu memukul tepat di lebamnya, "udah, Om. Kasian kalo dimarahin lagi." Sahut Adnan.
"Ohh.. yaudah. Kamu tolong bawain ke kamarnya, ya." Perintah Ayah yang membuat Ara melotot mendengarnya.
"Hah? Gak usah, Yah. Aku bisa sendiri, kok." Ara melepas tangan Adnan, lalu mencoba berjalan sendiri. Gadis itu gagal, ia malah nyaris jatuh, untung Adnan menahannya.
"Udah, gak usah sok kuat lo. Gue cuma nganterin kok, gak macem - macem." Ucap Adnan sebelum membawa gadis yang masih menatapnya itu masuk ke dalam rumah.
Adnan menuntun gadis itu dengan sangat hati - hati dan pelan. Sedang Ara, ia hanya bisa sedikit meringis kesakitan ketika kakinya itu berjalan langkah demi langkah.
Ara meluruskan kakinya di atas bangsal, "kaki gue gak luka tapi kok sakit banget ya?" Tanyanya kebingungan sambil mengusap - ngusap kedua kakinya.
"Luka itu gak cuma yang bisa dilihat, luka juga bisa dari dalam. Luka di dalam itu lebih sakit dari luka yang di luar, karena kita gak bisa ngobatinnya." Jawab Adnan sambil duduk di tepi bangsal. "Kayak lo."
Ara menatap pria itu dengan tatapan bingung, "kalo gak bisa diliat, jadi lo taunya dari mana?"
Adnan tersenyum, "kan bisa dirasain." Ara skakmat, ia tak bisa berkata - kata lagi. "Yang mana yang sakit? Keseleo ya?" Tanya Adnan sambil melihat pergelangan kaki hingga tulang keringnya.
Ara hanya mengangguk, masih terkena efek tadi, "bukan luka atau lebam kan?" Tanya Adnan lagi yang hanya dibalas gelengan kepala.
"Gue sebenarnya gak bisa sih ngurut kaki orang yang kayak di film - film gitu, tapi gue punya temen yang bisa. Gue bawa ke sini ya?" Tanya Adnan lagi yang membuat Ara menggeleng kukuh.
"Gak. Gak usah, ntar sembuh sendiri." Tolak Ara kukuh.
Adnan menghela pelan, "nanti lo gak bisa jalan gimana? Lo mau gue jemput terus buat sekolah? Mau gue tuntun terus ke sekolah? Mau sakit terus setiap jalan?" Pertanyaan bertubi - tubi itu sudah jelas memiliki satu kata jawaban pasti.
"Gak." Jawab Ara sedikit menunduk.
"Yaudah, nanti sore gue bawain ke sini orangnya. Baik kok orangnya, percaya deh." Ucap Adnan meyakinkan. Pria itu hendak berdiri, "yaudah, gue balik duluan ya."
"Eh tunggu." Kalimat itu menghentikan langkah Adnan, ia menoleh, "makasih." Ucap Ara dari atas bangsal.
"Apa?" Tanya Adnan berpura - pura tak dengar.
"Makasih." Ucap Ara dengan volume yang mengecil.
Adnan menempelkan tangannya secara vertikal di pinggir telinga, "gimana? Gimana?"
Ara melemparkan sebuah boneka kambing ke arah Adnan, "sana lo!"
Adnan menangkap boneka itu, "lah, eta ngusir?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Stepbrother
Teen Fiction[COMPLETE] Ara itu gadis yang spesial, tapi semuanya seakan tertutup hanya dalam sekejap. Bukan orang lain yang menutupnya, tapi dirinya sendiri. Ia bahkan lupa bagaimana caranya melihat dunia luar yang dulu ia cintai. Ra, gue bakal bantu lo. . Baca...