Langit Kelabu
Sanemi duduk termenung di dalam kamar yang sepi, menatapa hujan yang mulai turun. Matanya menerawang jauh, jauh kedalam kelabunya langit. Akhir-akhir ini dia sering bermimpi aneh, mimpi tentang Tanjiro, Tentang kepergian dirinya meninggalkan Sanemi, meninggalkan dirinya sendiri.
Hati gelisah, menggigip bibir pelan, Sanemi benci mimpinya. Dia takut jika bunga tidur itu akan menjadi kenyataan, dia takut akan datang hari dimana dirinya akan berpisah dengan Tanjiro, Dia takut ditinggalkan lagi.
Tanjiro datang masuk kedalam kamar, menatap punggung sang suami yang termenung menatap hujan dibalik jendela terbuka. Berjalan kesana dan duduk disebelahnya, Sanemi terkejut dengan kedatangan Tanjiro namun kembali menatap huajan diluar sana "kau kenapa akhir-akhir ini sering melamun? Apa yang kau fikirkan? Setidaknya cerita padaku, mungkin aku bisa membantu."
Sanemi tak mampu berkata-kata, wajah itu menatapnya hawatir, tangan itu mengenggam tangannya erat. Tersenyum kecil, diusapnya pipi si Istri pelan, berusaha tak membuat dirinya stres, apalagi dia sedang mengandung sekarang, Tentu Sanemi tak ingin membuat si Istri bermasalah dalam kehamilannya yang ke4.
"aku hanya lelah akhir-akhir ini, itu saja. Kau jangan hawatir, kesihan Nezuko jika ibunya banyak Fikiran."
Tanjiro mengangguk mengerti, disandarkan kepala ke bahu kokoh itu, mengalungkan kedua tangan di lengan kuat sang suami. Dirinya menatap hujan yang dilihat sang suami diluar sana, tak terlalu lebat, hanya hujan sedang.
Hening datang menyelimuti keduannya, tak ada kata-kata lagi terdengar, hanya suara air hujan yang mengalun menggema dalam kamar. Entah kenapa Tanjiro merasa Gelisah, dia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tapi semenjak dia mengandung Nezuko, hatinya jadi lebih peka, kadang dia merasa tak nyaman, entah kenapa fikiran tentang dirinya akan terpisah dengan Sang suami kadang-kadang muncul tanpa diduga. Tanjiro takut tapi tak berani bercerita, takut sang suami Hawatir. Lagipula tak mungkin Sanemi pergi darinya, mereka sudah berjanji saling bersama selamanya, akan tetap bersama samapai maut yang datang memisahkan mereka. Ya, Tanjiro tak ingin berpisah dengan Sanemi apun yang terjadi.
"Sanemi, aku ada permintaan."
"katakan"
Pelukan di tangan Sanemi menguat, Jantung Tanjiro berdetak sepat secara tiba-tiba, mulutbya terbungkam kuat tak ingin bersuara. Menggigit bibir kuat, dipaksa dirinya tenang. Berusaha mengatur nafas, setelah merasa nyaman dikumpulkannya tenaga untuk bersuara.
"jangan pernah tinggalkan aku"
Sanemi tersentak dalam hati, mencengkrem sprai kasur kuat, dia tak siap dengan pertanyaan itu, dia tak siap menjawab pertanyaan sang Istri. Dirinya merasa berda dalam mimpi lagi, mimpi dimana sebentar lagi Tanjironya akan pergi dan tak akan kembali.
"tantu saja, aku tak akan meninggalkanmu selamanya."
Dirangkulnya tubuh mungil sang istri. Menempelkan tubuh mereka berdua, hangat menjalar ke kedua insan tersebut, detak jantung keduanya mengalun cepat, mereka menikmatinya, menikmati setiap detik kesunyian mereka saat ini, menikmati setiap tarikan nafas dan detakan irama jantung mereka. Entah kenapa mereka berdua merasa akan merindukan momen-momen seperti ini suatu saat nanti
"bagaimana kalau kita makan sekarang."
Suara Tanjiro memecah keheningan hujan, berusaha mencairkan suasana, berusaha mencari pelarian dari fikiran jeleknya. Sang suami mengangguk setuju dan menggengam tangan sang Istri lembut, bermaksud mengajaknya menuju dapur untuk makan bersama.
****
Sanemi menikmati makannya dengan suka cita. Masakan sang Istri selalu dapat memuaskan lapar dan dahaganya. Tanjiro tersenyum menatap sang suami makan dengan lahap, tak menyisakan sedikitpun sisa makanan di piring-piring yang tersedia, Nasi, Sup Tahu, Ayam Bakar dan Telur goreng semuanya habis dimakan. Tersenyun puas, setidaknya dia tau makannanya sangat disukai sang suami.
Sanemi menutup makanya dengan tersenyum dan berterima kasih kepada sang pujaan hati atas masakan yang enak. Mengusap rambut merah yang lembut itu pelan, dia beruntung dan bersyukur memeliki Istri sempurna seperti Tanjiro.
"terima kasih ya, aku suka."
"untuk apa berterima kasih, sudah tugas sang Istri untuk memberikan yang terbaik bagi suami kan???" Tanjiro berdiri dari kursinya, bermaksud membersihkan meja makan dan mencuci piring di Washtafel tapi dihadang oleh Sanemi. Dengan cekatan dirinya mengambil alih pekerjaan Tanjiro, menyuruh dia duduk tenang saja di kursi. Bernafas pasrah, Tanjiro nurut saja, Toh dia tak bisa melawan. Sanemi sekarang dalam mode Suami Siaga di kehamilannya yang ke 5 bulan. Maklum, dia takut Tanjiro kelelahan dan berkahir dibawa kerumah sakit seperti sebelum-sebelumnya.
Ting tong ting tong
Bel pintu berbubunyi, Tanjiro berdiri dan berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang bertamu, meninggalkan Sanemi yang masih dalam kegiatan cuci piringnya.
Ditariknya gagang pintu, Tanjiro tersentak sebentar melihat siap yang bertamu.
Rambut putih panjang
Badan besar yang kokoh
Gaya flammboyan
Kuku yang dicat warna warni
Tersenyum sesaat, mantannya, Uzui Tengen datang bertamu kerumahnya disaat yang tidak tepat.
Tengen tersenyum kala melihat sang pencuri hati membukaan pintu dengan senyum mentarinya, mengintip sebentar kedalam, tak ada tanda- tanda Si bar-bar bodoh terlihat. Merasa aman, Tengen menarik tangan itu lalu meciumnya mesra, semburat merah menghiasi wajah Tanjiro, dia terkejut dengan perlakuan Tengen barusan. Ditariknya tangan dari gengaman si mantan sebelum terlambat, sebelum kesalah fahaman muncul. Tanjiro tersenyjm canggung dan mempersilahkan Tengen masuk, berjalan kedapur mengambil cemilan, tak lupa menuruh Tengen duduk menunggu disofa.
Setelah Tanjiro tak terliah lagi, Tengen menutuskan untuk melihat-lihat. Foto-foto kemesraan dan kebersamaan Tanjiro dan Sanemi banyak terpampang menghiasi meja dan dinding rumah. Tersenyum meremehkan, Tengen merasa Tanjiro itu tak cocok dengan Sanemi, Tanjiro itu hanya cocok dengannya, dirinya yang sempurna dan setara dengan dewa.
"heh bodoh, apa yang kau lakukan dirumahku?" suara dingin yang sangat Familiar dan tak akan pernah dilupakan oleh seorang Uzui Tengen, suara rival cintanya, suara laki laki berengsek yang dengan berengseknya merebut Tanjiro darinya.
Menengok ke asal suara, Sanemi terlihat disana. Bersender dindinding sambil menyilangakan tangan di depan dada. Mentap Dirinya dengan tatapan yang kalau diartikan berbunyi 'apa yang kau lakukan disini bedebah'.
"berhenti menatap dewa perayaan sepertiku dengan tatapan bodohmu!!!" Tengen tak terima di tatap seperti itu, dimana harga dirinya sebagai mahluk sempurna, sebagai dewa tertampan didunia.
Sanemi tak menggubris perkataan Tengen, dia berjalan menuju sofa dan duduk diatasnya. Matanya melirik Tengen tajam, Memperhatika gerak gerik yang dianggapnya mencurigakan.
Tengen yang ditatap seperti itu memilih kembali duduk dan menatap musuh bebuyutannya ini. Kilatan petir dan api imajiner terlihat dari kedua mata mereka, aura gelap menyelimuti mereka. Sepertinya akan terjadi perang.
Tanjiro datang dengan nampan berisi sepiring penuh Ohagi dan teh hujau manis. Gerekannya terhenti ketika melihat dua laki-laki bodoh di atas sofa sedang saling menatap tajam. menghela nafas gusar, Tanjiro meresa akan meghadapi badai sekarang. Ya, apa yang akan terjadi jika angin dam suara disatukan jadi satu. Sanemi yang sifatnya sepeti angin, merusak dan Tengen yang sifatnya seperti suara, mengelegar. Menggeleng kepala pelan, dia pasrah saja tentang hal yang akan terjadi nanti, toh setidaknya Tanjiro merasa sedikit bernostalgia dengan melihat kelakuan kekanak-kanakan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Baddas
FanficHidup memang kadang tak berjalan sesuai rencana Lihat saja meluarga Shinazugawa Satu ini Sanemi tak pernah berencana menikahi laki laki Tanjiro tak pernah berencana menikahi laki laki bahkan bisa sampai hamil empat kali Tapi lihatlah Mereka berdua m...