Arranged marriage with the police (part 4)

812 75 36
                                    

Harsh word!

















Sepertinya jiheon sedikit meragukan dirinya buat mengambil keputusan yang terlalu cepat. Soalnya gadis itu berpikir kalau pendekatan gak semudah itu.

Jiheon terkadang masih memikirkan trauma mendalam akibat masa lalunya. Jadinya dia masih takut buat menjalin hubungan dengan kaum adam.

Terserah lah sama kata orang yang bilang jiheon terlalu pengecut, sok cantik (dia sering banget nolak kalo ada cowok yang nembak), atau apalah. Dia gak peduli. Serius.

Jiheon hanya ingin mengendalikan rasa takutnya. Sebelum ke jenjang lebih serius.

Menikah gak sebercanda itu, asal kalian tau aja. Menikah perlu memiliki pikiran rasional, sehat mental, rohani serta jasmani tentunya. Jiheon masih belum sepenuhnya kuat.

Jiheon melihat pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Apakah ini yang dirasakan ibunya dulu saat memakai gaun pernikahan? Apakah ini yang akan membuat ikatan suci itu menjadi suatu hal istimewa?

Jiheon menarik sudut bibirnya ke atas. Setidaknya, dia sudah menyiapkan diri dan selangkah lebih maju.

"Nona Jiheon?"

Jiheon terkejut, "ah, iya?"

"Saya tadi diberi kabar dari nyonya jennie, gaun itu diantarkan ke rumahnya." Ucap pelayan itu.

"Iya mbak, makasih ya," jiheon tersenyum.

"Sama-sama nona," pelayan itu undur diri.

Jiheon masih bergeming, kemudian dirinya menghampiri jeongin yang sudah berkutat dengan ponselnya. Jiheon hanya mendengus kesal. Kalo urusan pekerjaan mah mending gak usah dipaksa kesini kali, kesalnya dalam hati.

"Udah selesai?"

"Hm."

Gadis itu mau menyambar tas yang dibawanya tadi, tapi ditahan sama jeongin.

"Biar saya yang bawa,"

"Gak usah. Saya bisa sendiri." Jiheon tanpa berkata lagi langsung menyambar tasnya dan melewati jeongin.

Pemuda itu bingung dengan mood gadis itu yang selalu berubah-ubah. Menurutnya suasana hati seorang gadis itu memang mengerikan. Yaudah, mau gak mau jeongin gak bisa maksa.

Mobil jeongin udah ninggalin butik gaun pengantin tadi. Di dalam mobil keduanya sama-sama hening. Gak ada suara radio yang menemani. Cuma deru air conditioner mobil sayup-sayup terdengar. Jiheon bertopang dagu sambil memandang keluar jendela, sedangkan jeongin fokus nyetir.

"Loh? Ini kan bukan jalan rumah saya?" Tanya jiheon heran.

"Saya lapar. Kamu juga belom makan kan tadi?"

Iya sih, tadi juga jiheon langsung masuk kelas, gak sempat makan siang. Jiheon akhirnya mengiyakan tawaran jeongin.


***


"Apa ada sesuatu yg ganggu kamu?"

Suara seseorang itu seketika menyentak jiheon untuk tersadar dari lamunannya. Gadis itu terdiam dengan pandangan mata yang sulit terbaca. Entahlah, dia sangat lelah sekarang.

"Sesuatu apa?" Tanyanya balik.

Jeongin menyatunya jari-jemarinya sambil meletakkannya ke atas meja, menatap jiheon intens banget. Jiheon yang digituin entah kenapa jadi gugup. Tatapan jeongin sangat pintar untuk mengintimidasi orang.

"Saya gak tau. Tapi sesuatu yang buat kamu bingung mungkin,"

Jiheon menggedikkan kedua bahunya, "ya mungkin. Kalo saya cerita mungkin kamu gak bakal ngerti."

[2] Amore ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang