ES - 07

60 14 0
                                    

Saat ini gue lagi menikmati jam olahraga dipagi hari, matahari tidak menampakkan sinar teriknya, justru ia malu-malu bersembunyi dibalik gumpalan putih seperti kapas itu.

Gue dan yang lain masih asik bermain dengan bola basket yang menjadi rebutan teman-teman gue.

"Alvira!" seru seorang cewek berpenampilan tomboy, wajahnya blasteran Indonesia dan Belanda yang juga sekelas dengan gue, Clarisa.

"Ha?" sahut gue. Clarisa menghampiri gue sambil berlari-lari kecil.

"Lo dicariin," gue mengernyitkan dahi, "Sama anak basket yang dateng dari sekolah sebelah, tinggi." gue mengernyitkan kembali membuat dahi gue semakin berkerut.

Anak basket, tinggi, dari sekolah sebelah. Andra. Ya, pasti ini Andra.

"Andra?" kata gue dengan pelan, "Iya kali, gue nggak tahu namanya." sahut Clarisa kemudian pergi ninggalin gue berlari kepada gerombolan anak basketnya.

Gue sangat malas, ngapain coba Andra manggil-manggil gue? Dan ngapain juga gue harus nyamperin Andra? Kerajinan banget, tahu nggak sih.

Kaki gue melangkah menuju kelas, dikelas sepi tak ada orang selain gue. Yang lain masih tetap dilapangan dan berolahraga bebas.

Diatas meja gue, terlihat setangkai mawar merah nan wangi yang semerbak. Gue melihat keseliling, nggak ada tanda-tanda ada makhluk hidup disini kecuali dirinya.

Gue mengambil mawar merah itu, ada kertas kecil yang tersangkut disalah satu durinya yang tajam itu. Kemudian, langsung gue ambil kertas kecil itu.

Terdapat sebuah tulisan tangan rapih, uang bertuliskan 'te amo Alvira'. Gue tahu, gue tahu arti dari tulisan tersebut, yang jadi masalah dipikiran gue saat ini adalah siapa orang yang sudah menaruh ini diatas mejanya.

Karena gue pusing, gue membawa bunga tersebut sekaligus kertas kecil dan bergegas gue menuju lemari loker khusus siswa siswi disini. Gue mengambil kunci loker bernomorkan 4260 didalam saku kemeja gue, lalu gue buka loker gue dan menaruh sembarangan bunga itu, kemudian gue tutup kembali.

Baru saja gue mau membalikkan badan gue dan akan kembali menuju lapangan, entah kapan seorang cowok sudah ada dihadapan gue sekarang dengan tatapan yanh intens dan tentu, senyum manisnya yang terlampau manis.

"An-Andra?" ucap gue setengah gugup, menahan rasa jantung yang berdetak sangat kencang dan badan yang akan gemetar.

Andra malah senyum, tidak mengucapkan apa-apa. Tanggannya mengunci badan gue yang membelakangi lemari loker.

"Gue manggil lo Alvira, kenapa lo nggak datang nyamperin gue" kata Andra dengan nada suara yang dingin ngebuat bulu kuduk gue merinding.

"Uhmm.. Nggak penting juga kan," sahut gue menetralkan rasa gugup yang melanda.

"Segitu bencinya lo sama gue?" tanya Andra yang tetap menatap gue dengan mata elangnya itu.

"Lo tahu sendiri, apa harus gue jawab lagi?" kata gue sambil mencoba untuk keluar dari kunciannya.

"Gue belum kelar ngomong,"

"Apa lagi sih, Ndra?"

Gue memutar bola mata dengan sangat malas, gue udah muak sama omongan Andra yang bagi gue udah nggak ada gunanya gue dengar.

"Gue mau lo dengerin penjelasan dari gue."

"Penjelasan apa lagi? Bukannya semuanya udah jelas? Lo yang mutusin gue tiba-tiba waktu itu." kata gue lalu mencoba lagi ingin keluar dari situasi ini.

"Gue ada alasan lain, Ra." ucap Andra dengan suara lirih.

"Apa? Selingkuh sama anak sebelah kan?" kali ini gue ngga tahan.

Ending SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang