Zeint maju bergegas meraih tangan Stifani lalu ditariknya tangan itu sehingga tubuh Stifani memutar ke arahnya membuat Sheila merasa cemburu.
“Setelah terlibat dalam hal ini, kau pikir mau ke mana kalian heh?” ucap pria ini dengan nada merendahkan. Sepertinya dirinya sudah benar-benar ahli dalam hal membuat orang merasa rendah.“Siapa kau berhak mengatur kami?” Stifani membalas dengan penuh keangkuhan di dalam kata-katanya. Belum pernah ia berbicara sebebas ini pada orang asing sebelumnya apalagi dengan kata-kata kasar. Rasanya sudah banyak sekali kata-kata kasar yang dikeluarkannya sejak bertemu mereka.
Zeint terdiam. Kebungkamannya ini membuat adik lelakinya itu angkat bicara.
“Apa begini rasa terima kasihmu?” pria sok tampan ini (walau memang tampan) mendadak mengeluarkan ekspresi serius. Ia sungguh tak dapat menerima jika seseorang bersikap kasar pada orang yang dekat dengannya.
Kini giliran Stifani yang terdiam. Ia hanya melirik malas ke arah Zack. Rasanya ia sudah malas sekali untuk bersuara dan ingin pulang sekarang juga jika saja Zeint tidak menahannya. Sudah jelas jika ia melangkah pergi lagi sekarang, akan ada di antara 4 orang ini yang menahan mereka. Melihat Stifani yang sepertinya sudah tidak ingin bicara lagi, gantian Zeffira yang angkat bicara;“Rasa terima kasih apa? Jika kalian tidak datang ke sini mungkin kejadian aneh ini tidak akan terjadi.”
“Kalaupun kami tidak datang, mereka juga tetap akan ke sini dan membahayakan kalian karena mereka mengincarnya.” Kali ini giliran Sean yang angkat bicara. Ia mengacungkan tangannya membuat seluruh perhatian teralih padanya. Setelah itu mereka menatap ke arah tangan Sean yang mengacuh pada Stifani membuat 4 pasang mata terbuka lebar tak percaya.
“A-aku?” ulang Stifani menuding dirinya sendiri. Ia sudah tak sanggup berkata-kata lagi. Otaknya serasa mau pecah mendengarnya karena mencoba mencerna semua yang terjadi.
“Memang siapa lagi? Kau pikir mengapa mereka menculik Sisy dan Zeffira sementara mereka tidak ada hubungan apapun dengan orang-orang itu juga Sam selain dirimu?” ucap Sheila panjang lebar dengan nada yang mulai normal.Mendengar Sheila yang menyebut nama-nama mereka dengan benar, mereka berempat merasa terheran-heran karena seingat mereka, mereka tak pernah memberitahu nama mereka pada Sheila. Maka, kali ini Sam yang angkat bicara karena sedari tadi ia sudah sangat penasaran. Mengingat tadi Zack juga mengatakan bahwa ia sudah mengetahui namanya.
“Darimana kau tahu nama-nama kami?” ungkap Sam terheran-heran. Mendengarnya, Zeint menarik napas dalam dan menatap Stifani.
“Kami tahu segalanya” tegas Zeint dengan nada yang begitu dalam. Stifani langsung mengembalikan pandangannya pada pria yang sedari tadi ada di sampingnya. Langsung saja, manik mata mereka kembali bertemu. Entah sudah berapa kali mereka bertatapan dalam 1 jam ini .
“Memangnya kalian siapa, tahu segalanya?” kali ini Sisy berkata mewakili Stifani yang lupa akan mengatakan apa. Stifani langsung mengalihkan pandangan pada Sisy begitu tersadar kembali. Pikirannya memang sering pergi entah ke mana. Mungkin ini adalah akibat dari dirinya yang terlalu sering mengkhayal.
“Akan kami jawab itu nanti, sekarang kalian ikutlah dengan kami dahulu baru akan kami jelaskan. Apa kalian tidak lelah berdiri di sini terus? Kakiku mulai pegal..” Zack mulai cerewet kembali. Ia berkata sambil mengusap kakinya yang memang mulai pegal. Tingkahnya ini mencairkan suasana yang penuh ketegangan karena keseriusan mereka berdebat.Suasana yang sebelumnya serius kini berubah menjadi tawa. Mereka semua menyetujui gagasan Zack menyadari kaki mereka juga mulai pegal-pegal dan badan yang terasa letih. Hanya Stifani yang masih berpikir walau wajahnya sudah menunjukkan tawanya.
“Tunggu dulu! Ke mana kau akan membawa kami pergi?” ujar Stifani saat yang lain sudah hendak pergi. Yang lain tentu langsung menghentikan langkahnya. Mereka berbalik menatap Stifani. ‘Hhh, dia mulai lagi’, gerutu Zack dalam hati.
“Sudahlah Stifa, ikut saja, mereka sepertinya tidak berniat buruk” tukas Zeffira sebelum Zack angkat bicara. Sepertinya sikapnya yang lumayan bijaksana yang ditunjukkannya saat ini membuat Zack menaruh perhatian pada dirinya. Begitupun Zeffira yang mulai tertarik pada kepribadian Zack sejak ia bersikap dewasa tadi. Tapi, tak satupun di antara mereka yang menyadari perasaan mereka sendiri.
Stifani menghela napas panjang. Ia melihat ke arah teman-temannya yang lain. Mereka mengangguk setuju. Pada akhirnya, Stifani juga mau tak mau harus mengikuti keinginan mereka.Zack memimpin di depan diikuti Sheila yang terus dekat-dekat dengan Zeint. Lalu di belakang mereka barulah rombongan teman-teman normal kita beserta Sean yang membaur di antara mereka.
Rombongan mereka berhenti di depan ruang UKS.
“Mengapa berhenti di sini? Apa kau sakit?” Stifani bertanya dengan nada angkuhnya karena ia masih kesal. Untungnya, kata-kata sinis Stifani ini tidak membuat mereka kesal lagi. Rupanya suasana hati mereka sudah berubah.
“Kau ini memang tidak sabaran ya!” jawab Sean dengan kalemnya. Dalam hal sikap ia yang paling baik dari keempat orang ini. Stifani langsung memberengut ketika mendengar kata-kata itu.
Zack maju mendekati cermin di ruang UKS. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Benda ini terlihat seperti sebuah kunci. Tapi untuk apa? Ia kemudian mendekatkan kunci itu pada cermin. Lalu, terlihat suatu pusaran di cermin membuat keempat teman normal kita mengubah posisinya. Mereka hanya bisa menganga menyaksikan apa yang terjadi.
Pusaran itu kemudian berhenti berputar dan membentuk seperti lubang besar di cermin namun tidak tembus ke bagian belakangnya.
“Ayo masuk!” ajak Zack pada mereka semua. Setelah mengatakan itu, ia langsung melangkahkan kakinya ke arah lubang cermin. Setelah itu, ia menghilang entah ke mana.“Masuklah, tidak apa-apa” ucap Sean mengajak yang lain untuk masuk. Zeffira kemudian yang melangkah pertama disusul Sam lalu Sisy. Stifani tertinggal di belakang. Entah kenapa sekarang ia jadi yang paling kaku. Padahal seharusnya ia merasa senang karena sekarang impiannya itu terbukti benar.
“Ada apa?” Sheila bertanya melihat Stifani yang seolah mematung di tempat. Tak siap menjawab, ia jadi gelagapan di tempat.
“Apa yang kau tunggu?” seolah mendapat syok berat, Stifani hanya menatap Sean yang bertanya padanya. Dia kemudian mundur dan terjatuh di atas ranjang UKS. Memahami kondisi Stifani saat ini, Zeint menatap Sean, mengisyaratkannya agar pergi.
“Kau juga” ucap Zeint pada Sheila. Ingin menolaknya, tetapi Sheila bisa mengerti keadaannya maka ia terpaksa mengesampingkan emosinya dan pergi bersama Sean ke dunia di dalam cermin itu.
Kini, di ruangan ini hanya tinggal Zeint dan Stifani berdua. Zeint menghampiri Stifani yang duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong. Ia memegang pundak Stifani membuat gadis ini tersadar dari lamunannya. Sekali lagi, ia menatap kedua manik mata cokelat itu. Entah perasaan apa ini, namun setiap kali ia melihat ke dalam mata itu, ia merasa begitu tenang.
“Kau baik-baik saja?” gadis ini kembali menundukkan kepalanya mendengar pertanyaan itu. Entah apa yang dipikirkan Stifani. Tapi terlihat jelas bahwa Zeint menjadi resah karena tak mengetahui apa isi pikiran gadis ini. Lama sekali ia menunggu agar Stifani mengatakan sesuatu tapi gadis ini masih tetap diam. Maka, ia memegang kedua lengan Stifani lalu diputarnya badan gadis itu lembut hingga menghadap ke arahnya.“Apa yang kau pikirkan?” Zeint bertanya dengan nada datarnya namun Stifani masih menunduk. Mulai lelah dengan sikap Stifani, Zeint menghela napas panjang lalu bertanya lembut; “Apa kau takut?” gadis ini menatapnya sesaat lalu mengangguk pelan. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat. Sebenarnya, bukan itu pertanyaan yang tepat bagi Stifani, namun mungkin tak ada pertanyaan yang lebih baik untuk menggambarkan kondisinya saat ini.
“Apa yang kau takutkan?” Stifani kembali diam. Pria ini sudah tak habis pikir dengan sikap gadis ini. Maka, ia memeluk Stifani membuat gadis ini tersentak dan berusaha melepas pelukannya. Tetapi Zeint berkata, “Kau tak perlu mengkhawatirkan apapun selama aku di sini”. Pernyataannya itu membuat Stifani membulatkan mata dan seketika dirinya yang dulu mulai kembali pada dirinya. Diam-diam, pria dingin ini mengulas senyum untuk pertama kali ketika sadar kalau Stifani sudah sadar penuh dari lamunannya. Maka, ia melepaskan pelukan dan wajahnya kembali datar seperti sedia kala.
“Aku melakukannya hanya untuk menyadarkanmu saja.” Ucap pria ini dingin. Tapi Stifani kali ini tersenyum simpul dengan tulus dan berkata, “Aku tahu itu” membuat pria di hadapannya terkesima.
“Cepatlah kalau begitu” Stifani kembali tersenyum dan langsung menuruti kata-kata pria ini. Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam lubang cermin. Setelah Stifani sudah masuk, Zeint menyusulnya dan saat itulah lubang di cermin itu menutup kembali sama seperti sebelumya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGICAL DREAM: STAR AND MOON
Fantasyнιdυp ιтυ мeмвoѕanĸan ѕaмpaι ĸaυ мeneмυĸan apa yang ĸaυ carι Itulah yang dirasakan oleh Stifani Emira, seorang remaja yang ingin pergi ke dunia baru hasil imajinasinya. Hidupnya selalu berjalan monoton sampai suatu hari, satu kejadian, satu benda, d...