BAB 17: LAKI-LAKI

65 13 13
                                    

Gadis itu berjalan tak tentu arah. Ia masuk ke dalam lift dan menekan sembarang nomor. Pintu lift kemudian terbuka dan dia berjalan ke sembarang arah pula dengan wajah yang lesu. Selama dalam perjalanannya yang entah ke mana, ia terus menundukkan kepala tanpa melihat wajah orang-orang yang pergi berlalu lalang.

“Stifa!” sebuah suara memanggil nama gadis itu membuatnya berhenti berjalan dan berbalik tak semangat. Rupanya Sean yang barusan memanggilnya. Stifani menatap Sean yang berjalan mendekat ke arahnya dengan tatapan kosong.

“Kau kenapa?” Sean menyadari ekspresi Stifani yang sangat kentara itu. Stifani hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan.

“Kau terlihat sangat tidak bersemangat setelah pergi ke tempat permainan itu. Apa yang terjadi? Jangan berbohong padaku.” Lagi-lagi Stifani hanya menggelengkan kepala dan memaksakan diri untuk tersenyum.

“Ayolah, kau itu tidak pandai menyembunyikan perasaanmu itu. Daripada kau terus seperti ini dan membuatku tidak nyaman, katakanlah sesuatu padaku. Mungkin aku bisa membuatmu lebih baik.”

“Aku baik-baik saja Sean, terima kasih sudah mencemaskanku.” Stifani tersenyum lemah berusaha membuat dirinya lebih baik. Tetapi kata-katanya itu tidaklah cukup untuk membuat pria di hadapannya saat ini diam. Terpancar dari wajah pria itu bahwa dia sangatlah mencemaskan gadis ini.

“Sepertinya kau sama sekali tidak menganggapku sebagai temanmu ya! Aku tahu, mungkin aku tidak pantas bergaul dengan seorang putri sepertimu.” Ucapan Sean kali ini berhasil membuat Stifani membelalakkan mata. Dengan cepat gadis ini menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Bukan seperti itu Sean..” ucapan Stifani terpotong ketika ada seseorang yang menyela pembicaraan mereka.

“Apa yang kau lakukan di sini?” suara datar khas milik Zeint merusak perbincangan mereka. Pria itu menghampiri mereka berdua begitu melihat Sean. Zeint menatap Stifani dingin membuat gadis itu tidak berani menatap matanya. Lalu ia beralih kembali pada Sean.

“Kau seharusnya sudah ada lapangan sekarang” ucap pria itu lagi tanpa menggubris Stifani.

“Aku tahu itu, tapi sepertinya Stifani sedang kurang baik keadaannya” ungkap Sean seraya menatap Stifani. Mendengar namanya disebut, Stifani langsung mendongakkan kepalanya ke arah Sean. Matanya melebar. Dalam hati ia berseru, ‘kenapa harus bawa-bawa namaku!’.

Zeint ikut beralih menatap Stifani yang tingginya lebih rendah darinya. Ia mengamati Stifani dari atas sampai bawah memastikan jika ada yang salah dengan gadis itu dan kembali lagi pada Sean.

“Cepat ke lapangan sekarang! Dia memang selalu seperti itu” ucap pria dingin itu dengan ketus seakan sama sekali tidak peduli apa Stifani hidup atau tidak.

“Tapi..” Sean berusaha membantah dan tetap mencemaskan gadis itu. Namun, satu tatapan dari pria dingin itu sudah sanggup membuat siapapun berhenti berkata-kata.

“Baiklah, tapi ijinkan dia ikut bersamaku. Aku yakin dia bisa membantu” Sean akhirnya mengalah walau dirinya tetap berusaha menawar. Zeint terlihat sedikit menimbang-nimbang sebelum akhirnya dia mengangguk setuju. Sean lantas menggenggam tangan Stifani membuat gadis itu tersentak dan menatapnya. Lalu pria itu menarik tangan Stifani meninggalkan Zeint yang masih berdiri di tempat menatapi kepergian mereka.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Stifani tiba-tiba ketika sedang membantu Sean menyiapkan perlengkapan di lapangan luas yang terletak di dalam gedung. Tanah lapangan ini terlihat seperti ditumbuhi rumput sehingga hijau namun bukan rumput seperti di bumi.

“Hanya berusaha membuatmu merasa lebih baik” jawab Sean tanpa menghentikan aktivitasnya. Malahan, Stifani yang berhenti mengatur penataan dan berbalik menatap pria itu.

MAGICAL DREAM: STAR AND MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang