Pagi hari kini telah tiba. Sinar mentari masuk melalui celah-celah tirai jendela mengenai wajah seorang gadis yang sedang terbaring nyenyak di atas ranjang. Mata gadis ini mulai terusik dengan adanya sedikit cahaya yang berhasil menembus kelopak matanya. Dengan terpaksa, gadis itu bangkit dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang. Secara perlahan, kedua mata gadis ini terbuka. Ia memicingkan matanya lalu mengerjap-ngerjap.
“Ehm.. di mana ini?” Stifani bertanya pada dirinya sendiri seraya menggeliatkan badannya. Tangannya bergerak-gerak mencari kacamata miliknya yang masih terpasang di depan matanya.
“Ma..” Stifani memanggil-manggil ibunya dengan mengantuk namun tak ada jawaban dari ibunya itu. Lalu, ia mulai teringat kejadian kemarin. Awalnya ia kira itu adalah mimpi belaka. Maka, ia bangkit berdiri, membuka pintu kamar dan berjalan keluar dengan rambut yang acak-acakan.
Dirinya berjalan ke sembarang arah sebab otaknya masih belum bekerja penuh. Mungkin hanya 25% dari otaknya yang sudah bangun. Ia kemudian membuka pintu yang ada di hadapannya sembarangan. Ia bahkan tidak menghiraukan penjaga yang berusaha menahan Stifani dengan ucapan sebab tak berani menyentuh sang putri. Ukuran pintu ini lebih besar sedikit dari yang ada di rumahnya dan warna serta ukirannya agak berbeda jika saja Stifani menyadarinya. Ia mendorong pintu ini dan seketika semua pasang mata yang ada di sini menatap Stifani.
Tanpa rasa bersalah ataupun malu, ia melangkah menuju meja tempat yang lain berkumpul dan mengambil kursi lalu duduk bergabung dengan yang lain.
“Apa yang kau lakukan di sini putri?” ucap suara berat milik paman Gildezz. Di ruangan ini terdapat ratu Victoria, paman Gildezz, bu Maddy, serta Zeint, Zack, Sean, dan Sheila. Menanggapi pertanyaan itu, Stifani dengan polosnya menjawab; “Aku? Tidak ada, hanya mencari ibuku.”
Lantas, ratu Victoria tersenyum mendengar jawaban itu. Mungkin ia tahu bahwa Stifani sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan mungkin ia juga tahu bahwa yang dimaksud Stifani bukanlah dirinya.
“Kemarilah nak” ratu Victoria mengulurkan tangannya menyambut Stifani. Sementara yang lain hanya diam menonton. Stifani memicingkan mata sedikit.
“Kau, bukan ibuku. Siapa kau?” Stifani berujar asal dengan nada agak sayup layaknya ia berbicara akrab dengan ibunya. Perkataan Stifani ini tentu saja mengoyakkan hati seorang ibu pada diri ratu Victoria. Tetapi, ia masih sanggup untuk bersabar.
“Kurasa ia masih belum sadar. Zeint, tolong antarkan dia ke kamarnya” ucap sang ratu mengalihkan topik. Ia meminta Zeint sebab ia yang menggendong Stifani ke kamarnya tadi malam.
Pria yang sedari tadi sibuk mengerjakan sesuatu entah apa kini pandangannya beralih pada sang ratu. Ia tadi memang menyadari saat Stifani datang dan bersikap agak tidak sopan. Namun, ia hanya melihat sesaat lalu beralih pada hal yang ia kerjakan karena malas membuang waktu untuk hal sepele. Lalu, Zeint bangkit berdiri hendak mengantar Stifani jika saja Sean tidak mengajukan diri lebih dulu.
“Biar aku saja yang mulia, sepertinya pangeran sedang sibuk.” Zeint seketika menghunuskan tatapan tajam pada Sean. Entah karena Sean mencegahnya untuk mengantar Stifani atau karena menyebutnya pangeran di depan gadis itu. Kurasa tidak keduanya, memangnya perasaan apa yang ia punya terhadap Stifani?
“Silahkan” sang ratu mengiyakan tawaran Sean. Lalu Sean mengajak Stifani untuk ikut dengannya walau mendapat sedikit perlawanan kecil.
“Siapa kau?” Stifani belum mengingat penuh kejadian kemarin. Ia menepis tangan Sean dengan lemah namun kasar. Lalu ia mengucek matanya sebab kedua matanya ini mulai tak sanggup terbuka.“Kau terlihat sangat manis saat seperti ini putri” ucap Sean tanpa sadar membuat seisi ruangan menatap dirinya.
“Terima kasih, belum ada yang memujiku seperti itu sebelumnya selain ibuku” tutur Stifani merusak suasana yang mematikan bagi Sean. Mungkin dengan ini yang lain akan mengira jika ia mengatakan itu hanya untuk membujuk Stifani. Mungkin juga hanya sebagian.
Setelah mengatakan itu, Stifani lalu berdiri sempoyongan dan dibantu berjalan oleh Sean. Kedua pundak gadis ini dipegang oleh Sean agar tidak jatuh. Sebenarnya, salah satu memegang lengan Stifani.
“Sebaiknya kau bersih diri dulu Stifa” ujar Sean saat tiba di depan kamar Stifani.
“Apa kau belum lihat wajahmu yang sangat kacau? Ditambah lagi pakaian semalam yang masih kau kenakan” Sean membubuhi kalimatnya yang hanya ditanggapi dengan anggukan.
“Baiklah, masuklah sekarang, kenakan seragam yang ada di lemari saat selesai. Aku akan menunggu di depan kamarmu 20 menit lagi” Sean menyampaikan pesannya di saat-saat terakhir sebelum Stifani menutup pintu dengan keras.
Ia dengan malas menuju kamar mandi dan ‘BYUUR’. Suara air mengguyur badannya dengan keras sebab ia tak memegang gayung dengan kuat. Hal ini membuat Stifani tersadar penuh. Otaknya seketika diaktifkan total. Ia jadi agak linglung di kamar mandi untuk sesaat lalu bergegas menyelesaikan mandinya untuk mengingat apa yang terjadi.
Selesai mandi dikenakannya kemeja berwarna biru muda dengan sedikit ukiran dan celana panjang yang bersatu dengan sebuah rok. Pakaian ini sangatlah keren bagi Stifani dan terlihat seperti sebuah seragam. Ia tidak ingat betul kalau Sean yang memesankannya itu.
Stifani lalu merebahkan diri di kasur mencoba mengingat kejadian barusan. Seingatnya, ia berjalan keluar, memasuki ruangan, dan “ASTAGA!” pekik Stifani keras-keras. Ia kini telah ingat semuanya. Lalu ia menutupi kepala dengan bantal dan menendang-nendang kasur. Ia merasa malu sekali mengingat kejadian itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu. Stifani langsung jadi gugup untuk membuka. Bagaimana ia sanggup menghadapi yang lain?
Ia menegarkan dirinya dan berjalan ke ambang pintu. Ia lalu membuka pintu sambil menunduk dalam. Perlahan-lahan barulah ia mendongakkan kepalanya. Pria di hadapannya kini tersenyum ramah pada dirinya membuat Stifani jadi salah tingkah.“Sepertinya kau sudah lebih baik sekarang. Mari kuantar ke ruang makan” ajak Sean dengan ramah yang justru membuat Stifani menjadi semakin malu. Pipi gadis ini memerah akibat menahan malu.
“Tidak perlu, antar aku pada Sisy dan Zeffira saja” tanpa membantah, pria ini mematuhi perkataan Stifani. Kebetulan memang Sisy dan Zeffira ditempatkan pada satu kamar jadi mereka tidak perlu bolak-balik hanya untuk memanggil mereka berdua.
“Kau bisa pergi dulu sekarang” tutur Stifani sayup-sayup saat tiba di kamar Sisy dan Zeffira. Ia bahkan tak berani menatap ke atas. Sean hanya tertawa dalam hati melihat tingkah gadis ini.
“Baiklah, tapi jika selesai bergegaslah ke ruang makan. Jangan lama-lama” dengan penuh pengertian, ia berjalan meninggalkan Stifani. Setelah memastikan bahwa Sean sudah benar-benar pergi, ia membuka pintu kamar dan langsung menutupnya dengan cepat begitu ia masuk.
“SISSSYY.. ZEFFIRAA..” Ia berbalik dan berteriak keras ke arah Sisy dan Zeffira yang sedang asik berbincang membuat keduanya terlonjak kaget.
“Astaga Stifa! Ada apa? Kau membuat jantungku hampir lepas” gerutu Sisy. Stifani lalu berlari dengan cepat menyesuaikan ruangan lalu melompat ke arah kasur dan badannya terbalik membuat wajahnya tertutup kasur. Ia lalu menendang-nendang dan merengek tak jelas.“Kau kenapa sih?” Sisy dan Zeffira saling tukar pandang melihat tingkah sahabatnya ini.
“Apa kalian tahu tadi..” ucapan Stifani sempat tergantung lalu ia menangis keras tanpa mengeluarkan air mata sebelum ia melanjutkan kata-katanya. Lalu ia menceritakan segala yang terjadi pada mereka berdua. Mendengar hal konyol yang telah dilakukan Stifani, kedua sahabatnya ini lantas tertawa.
“Sudahlah, lupakan saja” ujar Zeffira di sela-sela tawanya.
“Yang penting kan Sam tidak melihat” imbuh Sisy yang membuat Stifani mendongakkan kepalanya.
“Ya, setidaknya begitu..” ujar Stifani lirih. Hatinya mulai sedikit terhibur dengan fakta itu. Yang terpenting bagi Stifani memanglah anggapan Sam seorang terhadap dirinya. Masalah yang lain, Bodo Amat deh!
Merasa Stifani sudah tenang, mereka bertiga keluar meninggalkan ruangan ini bersama. Mereka bergerak mencari ruang makan untuk mendapat sarapan pagi tentunya. Mereka sangatlah lapar sebab semalam tidak mendapat cukup makan karena malu mengambil banyak-banyak.
AW, AKU MALU BINGITZ :'(SEKALI-KALI PART CERITANYA GA USAH NYERITAIN MASALAH MULU LAH YA😂
TENANG AJA SIH, CERITA INI BAKAL RELAX BANGET KOK KAYAK KAGA ADA KONFLIK NYA😂
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGICAL DREAM: STAR AND MOON
Fantasyнιdυp ιтυ мeмвoѕanĸan ѕaмpaι ĸaυ мeneмυĸan apa yang ĸaυ carι Itulah yang dirasakan oleh Stifani Emira, seorang remaja yang ingin pergi ke dunia baru hasil imajinasinya. Hidupnya selalu berjalan monoton sampai suatu hari, satu kejadian, satu benda, d...