Doi#4

80 5 10
                                    

"Nama lo Maria, kan?"

Jei memiringkan kepalanya ke belakang. Tersenyum kecil lalu mengangguk. Jei tidak berbasa-basi bertanya balik nama orang itu dan langsung menghadap ke depan.

Mata Jei fokus pada buku catatannya. Hanya saja otaknya kacau. Berbicara dengan cogan yang baru saja dikenalinya beberapa hari lalu adalah peristiwa yang sangat jarang dialaminya.

"Aduhh, gue ngomong sama cogan!"

Kalian bisa menganggap kalau Jei seperti orang yang seumur hidup hanya tinggal di planet jupiter. Tapi bayangkan kalau kalian baru saja bicara dengan idola kalian? Idola yang berwajah sempurna. Dipuja-puja sebagai makhluk titisan.

Siapa yang tidak mau?

"Maria?"

Jei yang merasa terpanggil kembali melihat ke belakang. Kalau biasanya gadis itu akan risih dipanggil terus, kali ini dia rela. Panggilan itu bisa dijadikannya sebagai modus untuk cuci mata dan menyegarkan otaknya dari para angka di buku matematikanya.

"Gue pinjem catetan lo, dong." Pinta Ken. Tak lupa dengan senyuman beserta lesung pipinya.

Kalau saja Jei tidak berpendirian. Kalau saja Jei sejak awal lebih tertarik pada Ken. Kalau saja otaknya mudah mengiyakan. Jei akan dengan mudah pindah hati lagi.

Sayangnya sejak terakhir kali patah hati mengetahui kakak kelas yang disukainya sudah memiliki pacar, Jei memutuskan hanya memandang Rei saja. Ia tidak mau dengan yang lain. Jei tidak mau pindah lagi. Sekalipun dengan Ken yang ketampanannya melebihi artis papan atas dan tidak ada bedanya dengan Rei.

Hampir saja Jei melamun demi memandang senyuman manis Ken jika Icha tidak menyenggol lengannya. Jei langsung memberikan buku catatannya tanpa berpikir lagi. Jei tersenyum sebentar lalu kembali menghadap depan.

"Rei tadi liat gue gak, ya?"

Jei mengambil kaca lalu menatap bayangan Rei di kaca yang dipegangnya. Tidak ada respon. Jei menunduk. Bagaimana cara Jei mendekati Rei? Masa Jei harus bernasib sama seperti dulu?

"Maria...Mariaa..." Jei kembali menoleh ke belakang.

"Yang lo kasi buku cetak, gue pinjemnya buku catatan lo." Ucap Ken sambil tersenyum. Saat itu juga pipi Jei memerah hingga ke telinga.

"Eh, sori, gue gak tau." Jei segera mengambil buku cetak dari meja Ken dan memberikan buku catatannya.

"Jei..." Panggil Icha tiba-tiba.

"Paan?" Jei bertanya sambi berbisik.

"Yang lo kasih itu buku catetan gue. Noh, buku lo." Balas Icha sambil menunjuk buku catatan Jei yang masih ada di mejanya.

Jei meringis.

"Maria..." Suara Ken terdengar lagi dari belakang.

"I-iya...gue tau. Nih, buku catetan gue. Yang tadi punya Icha, sori ya?" Jei tersenyum kikuk sambil memberikan buku catatannya. Jei sudah mengecek berulang kali agar ia tidak memberikan buku yang salah.

"Bukan itu."

"Eh?" Jei memiringkan kepalanya bingung sambil menatap Ken.

"Lo ngambil buku cetak gue. Nih, buku cetak lo sama buku temen lo." Ken mengambil buku catatan dari Jei dan memberikan buku cetak milik gadis itu.

Jei tertawa kikuk dan berulang kali mengatakan maaf. Jei menaruh kepala di atas mejanya. Ia sangat malu.

"Maria?"

"Apa lagi, Ya Tuhan?"

"Buku cetak gue?"

Jei melihat di meja masih ada satu lagi buku cetak yang bukan miliknya. Jei meringis dan mengembalikan buku cetak Ken pada pemiliknya. Ken tersenyum manis.

Jei merutuki dirinya. Sedangkan Icha dan Icy yang sejak tadi menyimak sudah tertawa di sampingnya.

Kenapa ia harus terlihat bodoh di depan idolanya sendiri? Apa yang akan dikatakan Rei tentangnya? Apa Rei melihat wajah bodohnya itu?

Bodoh, Jei merasa sangat bodoh.

##

Istirahat berlangsung. Di kelas hanya terisi Jei, Icha, dan dua orang lainnya.

"Lo pada nggak ke kantin?" Tanya Icha pada Rei dan Ken.

Ken menggeleng pelan. "Gue masih buta jalan sekolah. Nama lo Icha, kan?"

"Kok tau?" Tanya Icha.

"Tadi Maria sebut nama lo."

"Ni orang daya ingatnya tinggi juga. Gak kayak gue." Dalam hati, Icha merasa menyedihkan dengan daya ingat rendahnya.

"Btw, lo berdua mau kan bantuin kita si buta arah keliling sekolah?" Tanya Ken penuh harap.

"Ogah! Mager gue!" Batin Icha.

"Boleh. Gue gak keberatan. Tapi ke IPA satu dulu, yah? Kita mau ketemu temen dulu di sana."

Icha melotot saat Jei tanpa ragu mengiyakan permintaan Ken. Ketahuilah, menurut Icha sekolah mereka sangat besar. Kalau disuruh jalan berkeliling tentu saja orang mageran sepertinya sangat keberatan dengan permintaan bertenaga seperti itu.

Tapi Jei berbeda. Ia mulai memikirkan pendekatan secara perlahan namun pasti. Langkah awal yaitu dengan cara berteman. Untungnya Ken memberi Jei jalan dan mempermudah misinya.

"Ya udah, lo bertiga aja sana. Gue mau di kelas. Mager gue." Icha kembali duduk di tempatnya dan menopang kepalanya dengan tangan di atas meja.

"Yah, Cha!"

"Gue di sini." Rei tiba-tiba bicara. Dia ikut duduk.

Tidak dan jangan. Jei itu mau PDKT dengan Rei, tapi kalau orangnya tidak ada, bagaimana dengan misinya?

"Loh, lo pergi aja bareng mereka. Gue aja yang mageran. Sana pergi." Suruh Icha pada Rei yang ada tepat di belakangnya.

Bagus Icha! Suruh dia pergi, dengan begitu misi Jei akan lebih mudah.

"Lo ngusir gue?" Rei menatap Icha dengan tatapan menakutkan.

Tapi ini Icha, loh. Di masa lalu dia tidak ada bedanya dengan Rei. Kenapa ia harus takut ditatap tajam seperti itu?

"Kalo iya?"

Icha dan Rei saling melempar tatapan tajam. Jei langsung memegang pundak Icha saat mengetahui suasana sedikit runyam.

"Ayolah, Cha. Sekali aja. Ya?" Jei tersenyum ke arah Icha.

Icha menghela nafasnya. "Gue laper. Ayo ke kantin. Karena Jei udah bilang gitu, lo juga harus ikut!" Icha menunjuk Rei dengan telunjuknya.

Rei mendecakkan lidahnya.

"Rei, ayo! Cowok jangan jadi kek cewek, gerak Rei gerak!" Teriak Ken yang sudah berada di depan pintu keluar.

"Lo nyindir gue, hah?"

Ken tertawa keras. Entah maksudnya apa dia tertawa seperti itu.

##

Tempur! Ayo ayo tempuuurr!!!

Next chapter...

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang