Doi#5

82 7 17
                                    

Jei terus mencuri pandang ke arah Rei yang sedang berjalan di depan bersama Ken. Dari belakang saja Jei bisa tahu kalau Rei itu tampan. Dilihat dari potongan rambutnya, postur tubuhnya yang tegap dan tinggi. Tinggi Jei saja hanya sebatas dada pemuda itu.

Secara tidak sengaja, tiba-tiba Ken yang berjalan sejajar di depannya berhenti. Jei tidak fokus, entah apa yang terjadi pada dirinya hari ini, hidung mancungnya menabrak punggung Ken.

"Aduh!" Ringis Jei sambil memegang hidungnya.

Sebagai teman yang baik, tentu saja Icha menertawakan Jei. Hidung Jei sedikit merah ditambah rasa malu yang dirasakan Jei, warna merah itu merambat sampai ke telinga.

"Maria! Sori, sori. Lo gak papa?" Ken menghadap ke belakang sambil memberikan senyum bersalah.

"Nggak, gue nggak apa. Gue aja yang ngelamun jadi gak liat jalan." Jei terkekeh kecil merutuki kecerobohan diri sendiri.

"Lo serius gak papa? Hidung lo merah tuh." Ken tanpa sadar menyentuh dan menekan pelan bagian paling ujung hidung mancung Jei.

Jei yang kaget diperlakukan seperti itu langsung menutupi dirinya di balik Icha. Jei menutup hidungnya sendiri dengan tangan.

"Anjir...barusan tangan lo apain idung anak orang, Ken!" Batin Ken setelah sadar apa yang dilakukannya.

Rei dan Icha merasa hanya menjadi figuran di sini. Jei sendiri sudah menggigit bibirnya malu. Selama ini tidak ada satu pun cowok yang berani menyentuhnya seperti itu kecuali Ayahnya. Tangan gadis itu dingin, jantungnya berdesir.

"Jei, tenang. Ken gak sengaja. Jantung lo cuma kaget karna ini pertama kalinya buat lo." Jei terus berkata seperti itu pada dirinya sendiri.

"Maria...sori, gue gak bermaksud." Ken menggaruk tengkuknya.

Jei menggeleng pelan, mengatakan bahwa jangan dibahas lagi. Jei membuang mukanya. Ia ingin mengusir perasaan tidak jelas itu. Perasaan yang baru pertama kali dirasakannya.

Ken sungguh tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya khawatir. Hidung Jei memerah karenanya. Benturan antara punggungnya dengan Jei tidak bisa dibilang pelan. Jarinya refleks bergerak. Dia tidak tahu Jei akan meresponnya seperti itu.

Ken menghela nafasnya. Pasti Jei sudah berfikir tidak tidak tentangnya.

"Maria...gue bener-bener gak sengaja. Sori, ya?" Ucap Ken dengan nada menyesal. Meski Jei sudah mengisyaratkannya untuk tidak di bahas, Ken membutuhkan kepastian bahwa Jei baik-baik saja.

Jei sekarang tersenyum. Ia berhasil menghentikan perasaan gugupnya.

"Gak usa dipikirin. Gue beneran gak apa kok." Jei tertawa.

"Beneran?" Ken terlihat senang. Ia harap Jei benar-benar memaafkannya.

"Iya." Jei sendiri merasa bodoh. Kenapa harus terbawa perasaan dengan hal kecil seperti itu? Sudahlah, yang tadi hanyalah kecelakaan kecil. Hidungnya juga tidak istimewa atau benda mahal nan rapuh di museum yang sontong sedikit bayar denda.

Atau Jei yang sudah salah mengartikan perasaannya?

##

Jei mengenalkan Ken dan Rei kepada Joice dan Sydney saat mereka bertemu. Kedua teman Jei merespon mereka dengan ramah.

Hari berganti seiring waktu. Empat minggu berlalu. Jei sudah tidak tanggung-tanggung dengan Ken dan Rei. Mereka sudah lebih dekat. Jei, Icha, Rei, dan Ken. Kadang-kadang kedua cowok itu menemani para cewek bertemu Joice dan Sydney di IPA 1.

Ken menjadi populer dalam satu hari setelah kepindahannya. Ken mudah bergaul. Dia mengenal banyak orang. Senyumannya memikat para kaum hawa dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Setiap orang sering menyapanya.

Rei? Dia populer dengan caranya sendiri. Jangan lupakan gaya coolnya yang tidak luput dari mata siswi sekolah itu. Sikapnya berbanding terbalik dengan Ken. Dingin, cuek, tidak tersentuh. Tatapan tajamnya menjadi hal yang paling menakutkan juga memikat dari seorang Rei.

Kalau banyak yang menyapa Ken, maka sedikit yang menyapa Rei. Kalau banyak yang berbicara dengan Ken, maka banyak yang berbicara di belakang Rei.

Keduanya masuk ke ekstrakurikuler yang sama. Basket.

Fans mereka bertambah banyak setelah mereka performa permainan basket di depan umum saat latih tanding dengan sekolah lain dua hari yang lalu.

Sudah dua minggu namun tidak sekalipun mereka melihat Rei tersenyum.

Banyak yang menyapa Rei. Tapi Rei tidak sedikitpun menoleh bahkan menggerakkan matanya hanya untuk melihat orang yang menyapanya.

Anehnya, bukan malah menjauh, orang semakin gencar menyapanya demi melihat reaksi Rei.

Rei lebih jarang keluar kelas dibanding Ken. Malas bersosialisasi, seperti itulah dirinya. Hanya Ken, Jei, dan Icha yang paling sering bicara dengannya di kelas itu.

Tapi ada seseorang yang membuatnya tertarik. Entah tertarik seperti apa yang dimaksudkannya. Seseorang yang pernah mengajak adu mulut dengannya.

Setelah pertama kali mereka beradu mulut, mereka lebih sering lagi beragumen meski tidak setiap hari.

Dibanding dengan siswi maupun siswa yang gencar melihat reaksi Rei, orang itu justru terlihat sangat malas bicara dengannya. Orang itu tidak mau cari sibuk mengetahui reaksi Rei.

Dan tidak tahu kenapa, malahan Rei yang ingin tahu reaksi orang itu jika berhadapan dengannya.

Di sinilah yang tidak Jei ketahui. Perasaan Jei bertepuk sebelah tangan.

##

Gimana? Kasian Jei, ya?

Tapi perasaan Rei belum terkonfirm kok. Dia cuma penasaran aja sama 'seseorang' itu. Yah, gak tau lagi kalo ada sesuatu yang lebih(?)

Malah kasian Ken coba:v

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang