Doi#12

51 6 31
                                    

Saat ini, Jei sedang duduk di samping Ken sambil menikmati tontonan di depan mereka. Lebih tepatnya hanya Ken yang menikmati.

Jei merutuki dirinya. Kenapa dia bisa salah memesan tiket? Dia benci film horror, tapi saat ini dengan suasana yang gelap, tayangan mengerikan menjadi neraka bagi matanya.

Jei menutup matanya, mengintip dari sela jari, dan dengan tidak peduli sudah menaikkan kakinya di atas kursi.

"Kalo lo takut, kita pergi aja." Bisik Ken di telinga Jei.

Bulu kuduk Jei berdiri, gadis itu nyaris berteriak. Jei menatap Ken horror.

Ken tersenyum kuda. "Sori, gue nakutin lo, ya?"

"H-hah? Gue...takut? Gak tuh, perasaan lo aja."

Ken menarik nafasnya. "Yakin?"

"Y-yakin lah!"

Beberapa saat kemudian...

"K-Ken...gue udah gak tahan...mukanya jelek banget! Ngaget-ngagetin njir...gue doain tuh mak lampir masuk neraka!" Jei menarik-narik lengan Ken dengan tidak sabar.

"Lah napa lu pesen film yang horror?"

Terdengar Jei berteriak kecil saat melihat ada hantu botak licin dengan mata yang tersisa sebelah. Tanpa sadar Jei memegang lengan Ken.

"Gue pesen online, gue baru sadar kalo salah film. Ayo keluar..." Jei merengek.

"Gak mau."

Jei menatap Ken tidak percaya. Ken tega.

"Gue seneng liat apa yang belum pernah lo tunjukin ke gue." Ken tersenyum nakal.

Wajah Jei merah. Ia baru sadar kalau dari tadi dia terus memegang lengan Ken karena takut. Jei sangat malu, merengek layaknya anak kecil dan terlihat seperti pengecut.

Ken mengangkat tangannya lalu mengusap kepala Jei pelan. "Ayo...gak tega gue." Ken terkekeh.

Jei memalingkan wajahnya dan menutupi mukanya dari pandangan Ken dengan rambut panjangnya. Jei mengipasi wajahnya dengan tangan. Ken, kenapa kamu selalu seperti ini?

"G-gue masih bisa sampe selesai."

"Gak usah dipaksa. Suaranya horror banget tuh, tuh...Om bocin* nya juga jelek, gak betah kan lo? Mending liat wajah ganteng gue. Di sini gelap jadi lo gak bisa liat gue."

*botak licin

Jei ingin tertawa di sela-sela rasa takutnya. "Kenapa dia jadi pede high class gini?"

"Gue gak mau buang tiket." Jei tertawa kecil. Mungkin Jei bisa bertahan sampai akhir itu pun karena ada Ken di sana.

##

Akhirnya hantu berkepala mengkilat dengan mata satu itu musnah karena digigit anjing rabies. Anjing itu pun mati karena ditabrak mobil sehingga penonton harus menunggu season kedua berjudul The Rabies Dog Spirit yang akan tayang dua tahun lagi.

Tangan Jei dingin dan Ken memperhatikan hal itu. "Jei, lo jangan marah, ya?" Kata Ken sambil tersenyum. Jei mengerutkan alisnya ditanyai seperti itu.

Tangan Ken menyelusup di antara lengan Jei. Cowok itu menyelipkan tangannya di sela-sela jari Jei dan mengatupkannya.

Jantung Jei sudah berdetak tidak karuan. Telinganya panas, panas sekali. Tangan Ken kekar, lebih besar dari tangannya dan tangan teman-temannya yang pernah di genggamnya. Hangat. Rasa itu menjalar sampai ke hatinya.

Ken tidak berhenti di situ, dia menarik genggaman itu masuk ke dalam jaket yang digunakannya.

Seperti sebelumnya, Jei tidak boleh berpikir hal yang lebih jauh dari itu. Ia tidak mau memikirkan perasaannya lebih lanjut. Ken hanya teman. Dia memperlakukan Jei seperti itu supaya Jei merasa nyaman. Ada saat dibutuhkan maupun tidak, itulah artinya teman yang sesungguhnya.

Jei hanya akan menganggap Ken sebatas teman, ia tidak boleh terbawa perasaan.

"Sori, bentar doang kok." Jei tidak menjawab ucapan Ken. Pikirannya kalut.

Setiap orang yang berjalan menatap mereka, "Pacar idaman." pikir mereka.

"Lo mau makan lagi?" Tanya Ken.

"Gak, ah. Masih kenyang."

"Terus sekrang lo mau ke mana?"

"Lo bawa kartu Timearea?"

"Bawa, dong. Lo mau main?" Jei mengangguk antusias.

Setelah itu mereka berjalan lebih jauh lagi menuju Timearea. Seperti cewek pada umumnya, Jei meminta Ken untuk foto di Punchshoot dan berpose aneh-aneh agar bisa dijadikan kenangan.

"Gila...gue jelek banget." Gerutu Jei tidak puas.

Ken membalas dengan bergumam tidak jelas. Ia sibuk memperhatikan hasil foto mereka.

"Ulang!"

"Menurut gue lo cantik. Mata gue normal tuh, masih bisa liat wajah lo dengan jelas. Di situ gak ada yang jelek sama sekali. Bagian mananya yang jelek coba?" Ken masih mengamati foto mereka tanpa peduli dampak ucapannya.

Jei langsung berlari pergi meninggalkan Ken di belakang. Ia terlalu malu menunjukkan mukanya di depan Ken.

"Jei!" Panggil Ken.

Jei masih tidak mau menatap Ken. Dia berpura-pura tertarik dengan permainan yang dilakukan orang lain.

"Gue mau main basket, temenin."

Jei hanya mengikut Ken dari belakang. Kalau diperhatikan Ken sama kerennya dengan Rei. Kenapa sejak awal dia tidak lebih tertarik dengan Ken saja? Tapi Jei masih memiliki hasrat untuk memperjuangkan Rei. Yang tentu saja orang yang tidak pasti.

"Lo mau ikut?"

"Mau lah!" Jei tersenyum girang.

"Tanding kuy!"

"Tapi lo lebih tinggi, ikut club basket pula...curang." Jei menggembungkan pipinya.

Ken tersenyum manis. Ia gemas dengan pipi Jei, langsung saja ditariknya pipi itu.

"Sakit, Ken! Lo apaan sih pake narik-narik? Pipi gue merah, nih!" Jei mengusap pipinya. Jangan lupa telinga Jei yang ikut merah.

"Lo lucu, sih."

Hentikan, Ken...kamu terlalu jujur!

"U-udah, ah! Omdo aja lo bisanya."

"Gue serius, dih!"

"Pokoknya yang dapet skor lebih dikit dia yang menang."

"Loh loh...peraturan dari mana itu? Yang ada di mana-mana kalo lebih banyak ya dia yang menang, Jei."

"Peraturan baru yang gue buat. Bomat mau di mana-mana peraturannya beda, kan gue di sini...cuma di satu tempat."

Ken tidak bisa menahan tawanya. "Serah lo dah."

Mereka menghabiskan waktu dengan bersenang-senang di game center hingga Jei dijemput. Pengalaman Jei yang pertama dalam berkencan...mungkin? Yang tadi itu bisa disebut berkencan, kan?

##

Gimana???

Next?

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang