Doi#7

71 6 52
                                    

Kepala Jei masih pening. Tapi hal itu tidak menghentikannya untuk berfikir kalau Rei sudah mengangkatnya ke UKS.

Ken datang saat Jei tertidur. Saat bangun Jei mendapati bubur yang dibungkus di atas nakas sehingga bisa dibawa pulang. Lagi-lagi Jei berfikir bahwa semuanya itu karena Rei. Rei yang sudah berbaik hati mengangkatnya dan rela membeli makan.

Jei hanya tidak tahu kebenarannya. Bahwa Rei sama sekali tidak peduli. Rei tidak sebaik apa yang dipikirkannya. Seharusnya Jei berterimakasih pada Ken. Dialah yang berjasa.

Jei pulang bersama sebungkus bubur di tangannya. Tak lama setelah itu Ken juga pulang. Kini tersisa Icha dan Rei.

Icha baru ingat kalau orang tuanya tidak bisa menjemput. Sebentar lagi malam. Ponselnya kehabisan energi. Lalu bagaimana dia angkan pulang? Naik angkot? Sayang sekali dompet dan saku Icha sudah kering. Benar-benar tidak beruntung!

"Apa lo liat-liat?" Tanya Icha saat merasa kalau Rei sedang menatapnya.

"Lo...pulang?" Rei memberikan soal fisika yang rumit dan tidak jelas lagi.

"Ngomong tuh yang jelas jangkung!" Batin Icha kesal. Setidaknya jika Rei mau  menambahkan satu kata lagi semuanya akan terdengar jelas. "Hah? Lo bilang apa?"

"Gak pulang?" Tanya Rei yang singkat, padat, dan jelas!

"Lo gak liat gue di sini?"

Astaga, Icha selalu membalas Rei dengan kasar. Padahal siapapun yang mengobrol dengan Rei pasti akan berbicara dengan lemah lembut. Apalagi perempuan. Apakah Icha termasuk yang bukan perempuan?

Dengan geram, Rei mengunci bibir Icha dengan jarinya sehingga bibir Icha mengerucut. "Ni mulut rasanya pengen gue bawa ke laundry!"

Satu, dua, tiga...delapan. Rekor! Untuk pertama kalinya Rei bicara lebih panjang dari biasanya.

Icha menepis tangan Rei. "Enak aja nyamain mulut gue sama pakaian!"

Ini yang Rei suka. Reaksi yang sangat jarang ditunjukkan orang lain terhadapnya. Meski Rei memang merasa geram karena Icha terus saja bersikap kasar hanya padanya, namun terasa sedikit menyenangkan.

"Pulang."

"Oh, lo mau pulang? Iya sana pulang! Ntar kemaleman, ati-ati!"

Rei menghela nafas berat. Ia mengusap rambut hinga ke wajahnya dengan kasar. "Gue anter."

"Lo nganter gue pulang maksud lo?" Tanya Icha sambil menaikkan alisnya. Rei hanya mengangguk dengan wajah datarnya.

"Ayok! Gue mau aja asal gratis." Icha nyengir kuda. Ia tidak peduli kalau yang mengantarnya adalah cowok. Kalau orang itu macam-macam padanya, ya tinggal bacok.

Rei diam. Ia kemudian mengerutkan alisnya sedikit tidak suka. "Lo kalo diajak cowok lain, mau?"

"Tergantung."

Rei menaikkan sebelah alisnya. Icha tersenyum. "Kan lo yang ajak, napa gue harus takut ma batu macem lu."

Rei tidak tersinggung meskipun dikatai sebagai batu. Icha bukan orang pertama yang berkata seperti itu tentangnya. Apa pedulinya? Selama masih memiliki batas Rei akan memaklumi.

"Emang lo naik apaan?" Tanya Icha.

"Motor."

"Emang boleh? Kan masih kelas sepuluh."

"Gue ada SIM."

"Berarti lo tua, dong."

Rei tidak menjawab, kenyataannya memang begitu. Bulan Maret tanggal satu Rei sudah menginjak umur ke tujuh belas. Berbeda dengan Icha. Rei lebih tua satu tahun. Icha baru akan berumur enam belas tahun di bulan Juli.

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang