Doi#14

41 6 10
                                    

Icha sungguh tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. Rei tertidur dengan posisi duduk. Masih di sofa yang sama sebelum Icha meninggalkan Rei sendiri.

Icha tertawa pelan. Gadis itu masih berdiri dan menatap Rei. Ia mengakui kalau Rei itu tampan, Jei saja menjadikannya sebagai target.

Icha duduk di sebelah Rei. Cowok itu belum pulang. Padahal sudah dua jam lamanya. Rei benar-benar keras kepala.

"Rei." Icha berbisik. Dia ingin memastikan apakah Rei benar-benar tertidur.

"Hm?" Rei menyahut.

Oke. Sekrang Icha merasa malu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia sudah lama mengamati Rei. Apa orang itu tahu kalau ia sudah sejak tadi diperhatikan?

"Gu...gue, maksud gue...lo, lo gak pulang?"

"Menurut lo?" Rei menatap Icha tajam. Kenapa hal yang sudah pasti harus ditanyakan gadis itu padanya?

"Y-ya...lo ngapain, masih di sini?"

"Suka suka gue."

Icha terdiam. Rei menjadi sensian sesudah bangun tidur. Dan hal itu menjengkelkan.

"Gue bentar lagi pulang, meski belum dijemput, sih. Lo pulang sana."

Rei mengabaikan Icha dan malah kembali menutup matanya. Ia bergumam lagi, entah apa maksudnya.

"Rei, pulang. Gue gak enak sama lo."

Rei membuka matanya dan menatap Icha dengan tatapan kesal. Wajah cowok itu dengan sengaja maju mendekati Icha. "Kalo guenya b aja, napa lo yang ribet?"

Icha kicep. Dia sudah kalah beradu mulut lagi. Rei si keras kepala, susah diatur, tidak mau dibantah, diam-diam tapi menusuk.

"Sori, gue gak maksud ngomong gitu sama lo."

Icha tersenyum kemudian. Meski pandangannya sedikit buruk tentang Rei, mau bagaimana pun keadaan luarnya Rei tetaplah Rei, mau bagaimana pun hati manusia di dalamnya masih ada secuil kebaikan.

"Nap lo senyam senyum gitu? Geli gue."

"Anjir...mana pisau, sekarang juga lidahnya pengen gue cincang!"

"Canda. Gue gak pengen jadi mayat. Lo kalo senyum kasi tau gue dulu, biar gue gak kaget."

Icha mengerjapkan matanya. Rei bisa bicara yang seperti itu? Astaga! Semakin hari Rei bisa bicara!

Maksudnya bicara lebih panjang. Lebih ekspresif lewat kata-kata. Kalau dulu? Hem, ham, gak, ya, angguk-angguk, geleng-geleng.

"Ih, anak gue sekarang jadi pinter ngomong." Icha tertawa sambil mencubit lengan Rei dengan gemas. Ada perasaan bangga tersendiri.

Rei mengangkat alisnya. Sejak kapan Icha jadi ibunya? Omong-omong, lengannya yang habis dicubit rasanya sakit juga ya?

"Oh, Rei! Gue dah dijemput. Thanks ya tadi mau nganterin. Ortu lo gak cemas, Rei? Dah malem pake acara bobok di sofa segala. Dadah...hati-hati lo di jalan. Soal jaket lo, gue bawa besok kalo gak lupa." Icha tertawa.

Sedikit berlari, Icha perlahan kembali meninggalkan Rei sebelum cowok itu sempat berkata-kata.

Rei hanya melamun dengan isi kepalanya. Icha tidak tahu, dan lebih baik tidak pernah tahu. Cukup Ken dan Griffin yang tahu. Griffin? Ya, dia sudah tahu semua seluk beluk keluarganya. Biar sebatas mereka saja yang tahu.

##

Jei ke sekolah dengan hati yang ceria. Dia tidak datang terlambat. Di tasnya ada kotak makan berisi roti. Rambutnya dijepit. Langkahnya ringan. Apa yang membuatnya begitu bahagia?

Ia menaruh tasnya di atas kursi dengan pelan, elegan, bak seorang putri. Duduk di atas kursi itu dan tersenyum cerah.

"Gue harap lo gak kesambet yang baru, Jei." Batin Icha.

Icha hampir selalu datang sebelum Jei. Jadi ia melihat aksi Jei dari datangnya lewat pintu kelas—ya iya lewat pintu, masa lewat ventilasi?

Jei masih terbayang jalan-jalannya yang kemarin. Betapa Ken sangat baik dan hangat memperlakukannya.

Tak lama, Rei masuk ke dalam kelas. Dengan wajah yang biasanya, aura yang biasanya, dan mood yang biasanya. Sekilas matanya menatap Jei.

Jei tiba-tiba teringat. Dia belum berterimakasih tentang waktu itu saat di UKS. Tiketnya ia beri pada Ken. Lalu dengan apa dia membalasnya?

Sebenarnya Jei hanya tidak tahu. Secara tidak langsung rasa terimakasihnya sudah tersalurkan pada orang yang tepat. Jei masih belum tahu saja.

Rei duduk dengan santai. Kemudian Ken datang, cowok itu pasti mengobrol hal-hal yang basi dulu dengan teman-temannya sebelum masuk kelas.

Hari ini Ken sama cerianya dengan Jei. Rei dan Icha jadi penasaran apa yang membuat mereka seperti itu.

Sebelum bel sekolah berbunyi, kedatangan Icy pun akhirnya melengkapi bangku kosong di belakang.

Sama seperti Rei dan Icha, saat Icy melihat Jei dan Ken ia menjadi heran. Apa yang sedang merasuki Jei?

"Jei...lo gak apa?" Tanya Icy.

Jei menggeleng. Kenapa Icy bertanya seperti itu? Jei sangat baik...benar-benar baik.

"Ngeri ih, liat lo senyum-senyum gitu." Ucap Icha sambil menggelengkan kepalanya.

"Ntar gue cerita."

Jei masih tersenyum hingga wali kelas masuk dan memberi sedikit salam sebelum mengajar kelas lain.

Jei, kalau kamu sudah seperti ini, kamu yakin masih mau mempertahankan Rei yang tidak pasti? Kapan kamu sadar dengan ladang hatimu yang sudah mekar oleh bunga yang bijinya ditabur oleh Ken? Masih mau dengan kebaikan Rei yang hanya sesaat?

##

TBC

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang