Doi#13

39 5 6
                                    

Ini adalah kedua kalinya Icha menaiki motor Rei. Icha ingin menolak tawaran Rei, tapi orang itu tidak mau dibantah. Sering kali ia berpikir kenapa Rei mau repot-repot mengantarnya, Rei mau peduli dengannya, dan segala kebaikan yang ditujukan Rei hanya untuknya. Meski Icha tidak pernah memiliki pengalaman dalam hal seperti ini sebelumnya, tetap saja dia peka.

Rei cuek dengan orang lain. Kasar dan tidak pernah mau bicara sedikit pun dengan siapa pun. Bahkan dia hanya bergumam saat mengobrol dengan Joice dan Sydney.

Tentu saja Icha bukan pacar Rei. Hal itu membuat Icha berpikir lebih keras lagi.

Atau Rei ingin menunjukkan kebaikannya agar Jei mau tertarik pada cowok itu? Pastinya tidak. Sejak awal Jei sudah lebih dulu suka orang itu.

"Cha, nyampe." Sura Rei yang sedikit terendam helm motor terdengar.

Icha baru sadar kalau dari tadi mereka sudah sampai. Dia terlalu banyak melamun selama perjalanan.

"Oh, oke deh...thanks ya. Lo udah mau pulang, nih?" Tanya Icha.

Rei diam selama beberapa detik lalu menggelengkan kepalanya.

"Masa ortu lo gak nungguin lo pulang?"

Seperti tadi Rei diam sebentar lalu menggeleng. Toh, Icha tidak tahu kalau sebenarnya tidak akan ada yang menunggu Rei di rumah.

"Terus lo maunya gimana?"

"Nungguin lo."

"Hah?!" Icha refleks berteriak. "Ngapain lo nungguin gue?"

"Pengen."

Icha memijat batang hidungnya pelan. Rei ini ada-ada saja!

"Gak, gak. Lo pulang." Rei menggeleng.

"Pulang. Sekarang." Lagi, Rei hanya menggeleng.

Icha menatap Rei kesal. Kenapa Rei semakin hari semakin keras kepala? Rei seperti anak kecil yang tidak mau pulang ke rumah karena ingin terus bermain—tapi itu mungkin dulu, kalau anak-anak zaman sekarang sukanya main di rumah dengan HP tercinta.

"Pulang, Rei. Gak ada gunanya lo nungguin gue."

"Suka-suka gue mau di mana. Lo bukan siapa-siapanya gue."

Singkat tapi nusuk. Rei benar, Icha tidak punya hak untuk mengaturnya.

"Serah lo, Rei." Icha menggaruk kepalanya sambil tersenyum masam.

Icha masuk ke dalam tempat lesnya dan diekori oleh Rei. Mereka mengambil tempat duduk di sofa sambil menunggu. Ia sangat malu, Rei terlihat seperti pengawal pribadinya. Apalagi banyak yang menatap Rei kagum.

Icha memutar kedua bola matanya. Kalau saja mereka tahu sifat Rei, mungkin mereka akan langsung angkat tangan. Icha saja sudah menyerah dengan kelakuan Rei barusan.

Icha jadi berpikir, bagaimana orang tua Rei menghadapi kelakuannya? Bicara jarang, berekspresi jarang, bahkan bergerak juga jarang. Mungkin sedikit susah kalau punya anak batu seperti Rei.

"Kapan mulai?" Rei memutuskan untuk bicara duluan setelah beberapa menit tercipa keheningan di antara mereka.

"Harus banget lo tau?"

"Kalo iya?"

"Tumben lo nanya hal gak penting?"

"Emang yang tadi gak penting?"

"Kalo gak?"

Rei mendecakkan lidahnya. "Jawab doang kok susah."

"Sejak kapan lo jadi kepoan gini?"

"Emang urusan lo?"

"Kalo bukan kenapa?"

"Ya gak apa."

Pertanyaan yang dibalas pertanyaan itu berakhir dengan jawaban lucu dari Rei. Icha tidak bisa menahan rasa geli di dalam dirinya, gadis itu pun tertawa.

Rei mengerutkan alisnya. "Napa lo ketawa?"

Icha masih tertawa dan menutup wajahnya dengan tas sambil menggeleng.

Rei mengerutkan alisnya lalu bersandar di sofa yang mereka duduki. Tangannya direntangkan di atas sandaran sofa. "Lo aneh. Receh, deh."

Icha berhenti tertawa. Ia berganti menatap Rei dengan tatapan membunuh. "Kalo gue receh, lo ada masalah sama gue?"

"Gak. Cuma lucu." Rei bergumam dan membuang mukanya ke arah lain.

Icha mengedipkan matanya berulang kali. "Lo bilang apa?"

Rei menggeleng.

"Jelas banget gue denger lo bilang kalo gue...ihhh apaan sih?!"

"T-tauk ah, males gue sama lo...gue ke kelas gue dulu. Lo pulang aja sono." Icha pergi meninggalkan Rei.

Rei hanya bergumam. Icha sudah lebih dulu pergi sebelum Rei menjawab. Padahal dia ingin memberi sedikit salam.

"Belajar yang bener."

Rei tersenyum kecil. Ruangan itu menjadi sepi. Anak-anak yang jam lesnya sudah selesai langsung pulang.

Rei tidak mau pergi dari sini. Ia ingin melihat Icha sekali lagi sebelum pulang. Untuk itu dia rela menunggu Icha. Tidak peduli sampai beberapa jam lamanya, atau mungkin lebih dari itu. Rei akan terus menunggu.

##

Jei masih terus kepikiran. Ken membuat pipinya panas, sensasi yang jarang dirasakannya. Ken membuat jantungnya berdetak sangat cepat. Apa itu semua hanya karena Ken sudah sangat baik mau menunggunya hingga pulang?

Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak bisa salah paham dengan kejadian yang dialaminya hari ini. Hati kecil Jei sedikit berharap kalau saja yang tadi itu Rei, bukan Ken.

"Jei!"

"Ya, Ma?"

Jei segera duduk saat Mamanya masuk ke dalam kamarnya.

"Kakak kamu kan sebentar lagi lulus, terus mau kuliah di kota lain. Mama harus ikut, tapi kamu tetap di sini. Kemungkinan nanti kamu sendiri. Gak apa?"

Jei mengangguk. Kakak laki-lakinya yang akan mengikuti ujian Nasional dan sebentar lagi lulus.

"Papa juga kerja di luar kota. Beneran, nih?"

"Iya, Jei juga udah gede. Paling Jei bakal sibuk sama kegiatan sekolah."

"Ya udah. Mama tinggal ke luar, ya?" Jei lagi-lagi mengangguk.

Jei tidak akan kesepian. Dia masih ada teman-teman, lagi pula sekarang sudah ada Ken dan Rei.

Jei tersenyum lebar. Hari ini begitu menyenangkan. Pengalaman pertamanya dengan cogan.

##

:3

D O ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang